REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tes wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat dari proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) masih menjadi polemik di masyarakat. Pakar hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menilai jika proses dan hasil TWK terus dijadikan polemik, bisa berdampak pada upaya KPK menuntaskan sejumlah perkara besar.

“Keraguan tentang akan selesainya perkara-perkara besar, juga akan terjawab di masa-masa yang akan datang. Tapi mengingat polemik yang terjadi berkepanjangan seperti ini, akan mengendap perkara besar atau dengan kata lain tidak akan bisa tuntas secara cepat,” kata Suparji dalam keterangan tertulis, Rabu (9/6).

Supartji juga menilai, narasi yang menyebut TWK sebagai akal bulus Ketua KPK Firli Bahuri untuk menyingkirkan beberapa orang, tidak mudah untuk dibuktikan. Meski demikian, narasi tersebut berkembang massif dan telah mempengaruhi sebagian masyarakat.

“Karena memang ada mekanisme yang dilaksanakan,” ujarnya.

Seperti diketahui, sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Kemudian, sebanyak 51 orang diberhentikan, dan sisanya diberi kesempatan untuk dibina ulang untuk bisa menjadi ASN.

Suparji juga menyoroti delapan indikator penting yang menentukan lolos tidaknya pegawai KPK dalam TWK. Seperti tidak setuju dengan kebijakan pemerintah membubarkan HTI dan FPI, atau kelompok radikal atau kelompok pendukung teroris. Menurutnya hal itu memang cukup krusial.

“Tes Wawasan Kebangsaan yang berkaitan dengan pilihan persetujuan Pancasila diubah, dan tidak setuju pembubaran FPI dan HTI, itu memang cukup krusial,” ucapnya.

Sehingga, asesor TWK memiliki hak untuk tidak meloloskan sejumlah pegawai KPK itu. “FPI dan HTI merupakan ormas yang dianggap terlarang. Jadi kalau pendapatnya sudah begitu, maka asesor memang punya pendapat menganggap wawasan kebangsaannya tidak bisa dibina,” ujar Suparji.

Sumber

Republika