SERAMBINEWS.COM, JAKARTA – Dosen Hubungan Internasional Peneliti Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian, Laboratorium Politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ramdhan Muhaimin mengatakan, pidato Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations General Assembly) sungguh sangat menyentuh dan gamblang menunjukkan kekuatan dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina.
Retno menyebut yang terjadi di tanah Palestina bukanlah sekadar konflik asimetris, tapi juga penjajahan, pendudukan, dan penindasan kemanusiaan serta pelanggaran berat terhadap hukum internasional oleh Israel.
Kecaman masyarakat internasional juga sangat besar terhadap Israel. Demonstrasi besar-besaran mengutuk Israel terjadi di berbagai negara, bukan hanya di negeri-negeri muslim, tapi bahkan di negara-negara Barat yang sebagian besar notabene pemerintahnya justru merupakan sekutu Israel, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda.
Bantuan jutaan dollar mengalir dari berbagai komunitas dunia untuk membantu rakyat Palestina. Dari Indonesia saja, dalam satu pekan terkumpul lebih kurang 100 miliar rupiah yang dikumpulkan berbagai lembaga kemanusiaan, organisasi kemasyarakatan, hingga individu public figure.
Di sosial media dan jejaring internet, perang juga tidak kalah hebat. Serangan para hacker negeri muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Turki dan Pakistan terhadap website-website Israel juga mematikan.
Perang 11 hari yang dilancarkan Israel kali ini di luar dugaan memicu pola perang hibridisasi yang masif secara global. Bukan hanya soal ‘kegagalan’ iron dome canggih Israel yang ternyata tembus oleh roket-roket lokal Palestina yang berteknologi tanpa sistem kendali.
Semua ini menunjukkan dukungan yang luar biasa bukan hanya dari dunia Islam, tapi komunitas internasional secara umum. Sehingga mampu menekan Israel untuk menyetujui gencatan senjata yang dimediasi oleh Mesir dan Qatar.
Perlu diingat, bahwa Israel yang pertama kali mengumumkan gencatan senjata, bukan Palestina. Lalu bagaimana dunia Islam dan komunitas internasional pasca gencatan senjata ini?
Langkah Sekuritisasi
Serangan Israel bukan hal baru. Israel sudah berulang kali melakukan serangan, dan genjatan senjata pun dilakukan setelah serangan-serangan itu.
Artinya, genjatan senjata terbaru pasca serangan 11 hari ini tidak menjamin bahwa tidak akan ada serangan Israel berikutnya yang lebih besar. Apalagi setelah serangan 11 hari, AS menyetujui kesepakatan penjualan senjata terbaru-tercanggihnya kepada Israel untuk menopang sistem Kubah Besi (Iron Dome) yang digunakan Israel.
Setiap kali Israel melakukan unilateral militernya, setiap kali itu pula dunia bergolak, lalu muncul gelombang solidaritas dari berbagai negara.
Kecaman demi kecaman dilontarkan para pemimpin dunia. Pertanyaannya, di mana dunia Islam dalam hal ini Organisasi Kerjasama Islam (Organization of Islamic Cooperation) dan Liga Arab (Arab League)?
Bukankah OKI didirikan pasca kekalahan negeri-negeri Arab dalam Perang Arab-Israel tahun 1967 dan pembakaran masjid Al-Aqsha oleh tentara Israel tahun 1969? Jika OKI yang beranggotakan 57 negara dibentuk sebagai respons atas peristiwa 1969 tersebut, lalu mengapa sejak itu masih terjadi upaya pembakaran ataupun penyerangan atas Masjid al-Aqsha oleh Israel?
Ada beberapa langkah yang seharusnya dilakukan dunia Islam khususnya OKI dan Liga Arab tidak saja sebagai komitmen moral-ideologis terhadap perdamaian, tapi juga sekuritisasi Palestina pasca-gencatan senjata (post-cease fire).
Pertama, OKI harus memperkuat kembali kesungguhan diplomatiknya sebagai organisasi multilateralisme Islam memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, serta menghentikan kolonialisme Israel atas Palestina dan Masjid al-Aqsha.
OKI harus mengambil ketegasan mengenyampingkan gap kepentingan nasional di antara anggota, lalu kembali kepada tujuan dasar pembentukan organisasi dan semangat solidaritas Islam 1969. Bahwa OKI hadir dalam rangka sekuritisasi atas Masjid al-Aqsha dan Palestina.
OKI seharusnya lebih berperan lagi di panggung multilateral menekan Israel mematuhi hukum dan kesepakatan internasional, melalui lobi-lobi diplomatik total terhadap Barat, AS dan Eropa.
Artinya, peran aktif OKI dalam mempengaruhi sistem internasional harus lebih besar dan signifikan lagi bagi kepentingan dunia Islam, bukan hanya dunia Arab. Jika lobi-lobi Yahudi sangat kuat terhadap pemerintahan AS, maka OKI seharusnya melakukan terobosan-terobosan diplomatik dalam konteks lobi dan negosiasi terhadap AS.
Mengapa lobi-lobi terhadap AS ini penting, karena AS adalah faktor utama di balik unilateralisme Israel sesungguhnya. Sejak 1972, AS sudah menggunakan hak veto menganulir keputusan PBB sebanyak 44 kali untuk melindungi Israel. Terakhir, ketika PBB akan menggelar sidang darurat menyikapi serangan Israel ke Gaza sebelum gencatan senjata pekan lalu.
Selama ini, dunia Islam merasakan kekosongan (jika tidak disebut kekurangan) peran OKI dalam perjuangan Palestina. Bahkan tembok pemisah yang dibuat Israel pun tidak mampu ‘diruntuhkan’ kekuatan 57 anggota OKI.
Secara paradigmatic, atribusi Palestina tidak dapat dipisahkan dari Masjid Al-Aqsha atau sebaliknya. Masjid al-Aqsha adalah bagian integral dari Palestina, baik Tepi Barat maupun Jalur Gaza. Dan Masjid al-Aqsha adalah bagian integral dari dunia Islam.
Kedua, sejauh mana anggota OKI berani menyeret Israel ke Mahkamah Kriminal Internasional? Tidak sebatas mengecam dan mengutuk.
Sebelum perang 11 hari terjadi, Mahkamah Kriminal Internasional sebenarnya akan memulai penyelidikan terhadap kejahatan Israel pada perang 50 hari di tahun 2014.
Pada perang itu, 2.251 warga Palestina tewas, termasuk lebih dari 1.462 warga sipil serta 11.231 terluka, menurut PBB. Sedangkan di pihak Israel, 67 tentara tewas termasuk 6 warga sipil.
Tapi Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menolak penyelidikan pengadilan. Bagi Israel, mahkamah di Den Haag tidak mempunyai wewenang melakukan penyelidikan. Perlu dicatat, penyelidikan ini atas aduan Palestina tahun 2015, tapi baru akan dieksekusi tahun ini.
Tentunya jika aduan ini dilakukan dengan daya tekan lebih besar dari kekuatan negara-negara Islam, setidaknya akan lebih efektif dan mampu mempengaruhi perimbangan kekuatan di Timur Tengah.
Ketiga, satu pertanyaan besar, konflik Israel dan Palestina sudah berlangsung 54 tahun sejak Perang Arab-Israel 1967, atau 73 tahun sejak Perang Arab-Israel pertama kali 1948.
Tapi mengapa tidak ada penempatan Pasukan Pemeliharaan Perdamaian PBB (peacekeeping force) di Palestina sebagaimana dilakukan di Lebanon, Sierra Leone, dan Kongo?
Tidak dapatkah negeri-negeri muslim menggunakan kewajiban politik luar negerinya di Dewan Keamanan PBB untuk menekan organisasi multilateral tersebut menempatkan (deployment) pasukan pemeliharaan perdamaian (peacekeeping force) di Palestina, terutama di Kota Yerusalem yang ditetapkan UNESCO sebagai situs warisan dunia?
Meskipun deployment tersebut harus melalui serangkaian proses administrasi dan legalitas dari Dewan Keamanan, tentunya lima kekuatan pemegang hak veto.
Kekosongan keamanan di Palestina mendorong rakyat di sana mengambil cara mereka sendiri dalam melakukan sekuritisasi kedaulatan wilayah dan martabat kemanusiaan.
Munculnya gerakan intifada sejak tahun 1987, lalu bersamaan dengan kelahiran gerakan perlawanan rakyat Palestina melalui Harakah Al-Muqawwmah Al-Islamiyah (HAMAS).
Sebelumnya telah muncul Jihad Islam (1981). Bukankah kehadiran sayap militer bersenjata ini karena kekosongan keamanan di Palestina?
Harapan Alternatif Dunia Islam
Harapan besar langkah-langkah ini tentu bertumpu pada OKI dan Liga Arab sebagai aktor yang sangat diharapkan me-sekuritisasi wilayah Islam. Namun lebih dari satu dekade terakhir, dunia Islam menyaksikan kemajuan politik, ekonomi dan teknologi dari Turki.
Tidak berlebihan sebenarnya jika kemudian harapan dialihkan kepada Turki, di tengah ketidak-pastian perkembangan di Timur Tengah. Di sisi lain, Turki memiliki komunikasi politik global cukup kuat di Eropa dan pengaruh baik di dunia Islam.
Pada kasus serangan 11 hari Israel atas Gaza, Presiden Turki Recep Tayip Erdogan telah menyuarakan perlunya pasukan perdamaian di Palestina.
Suara Erdogan ini disambut Pakistan, Indonesia dan Malaysia. Secara maraton Erdogan juga menghubungi para pemimpin dunia terkait kebrutalan Israel, diawali dari Presiden Rusia Vladimir Putin.
Langkah yang bersamaan juga dilakukan Indonesia melalui Menlu Retno Marsudi ke negara-negara ASEAN dan Timur Tengah. Bahkan secara trilateral, Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam ‘sepihak’ melakukan pernyataan bersama mengutuk serangan Israel dan menyebut sebagai tindakan kolonialisme-apharteid.
Dunia Islam memerlukan terobosan dalam memecahkan kebuntuan ‘peta jalan damai’ (road map) di Palestina. Kebuntuan yang disebabkan dua faktor, yaitu pertama sikap pengangkangan Israel atas hukum dan kesepakatan internasional. Kedua, pengabaian oleh sistem internasional itu sendiri terhadap pengangkangan tersebut.
Konteks ini sebenarnya menjadi momentum baik bagi Turki maupun Indonesia sebagai negeri muslim terbesar.
Turki negeri muslim terbesar dalam konteks kemajuan politik, diplomasi dan ekonomi serta memiliki pengaruh lintas benua (cross-continent), sedangkan Indonesia sebagai negeri dengan populasi muslim terbesar.
Jika jumlah populasi muslim Indonesia dijumlah dengan Malaysia dan Brunei, maka lebih besar dari total penduduk muslim di jazirah Arab sekalipun.
Selain itu, kedua negara berada pada posisi geostrategi yang sangat signifikan, yang dapat dijadikan modal negosiasi ekopolin (ekonomi-politik internasional) di level multilateral, tinggal soal keberanian pengambilan keputusan. Turki berada pada posisi hub Asia, Timur Tengah dan Eropa. Sementara Indonesia berada pada posisi hub di Indo-pasifik.
Mungkinkah negeri-negeri Melayu (Indonesia-Malaysia-Brunei Darussalam) membangun komunikasi lebih signifikan lagi dengan Turki dalam konteks sekuritisasi di Palestina?
Kehadiran kekuatan aliansi ini tentunya dapat memenuhi kekosongan dari kehadiran politik Islam global dalam masalah Palestina, tanpa menafikan keberadaan OKI sebagai payung multilateralisme Islam.(AnadoluAgency)
Sumber