Jumat, 30 April 2021, Komunitas Angkringan Bentara Rakyat (AKAR) mengadakan diskusi dengan tema: “Mewujudkan Penddidikan yang Berkebudayaan Berwawasan Kebangsaan dan Ke-Indonesiaan di era Digital”. Diskusi ini menghadirkan Prof. Dr. Asep Saefuddin, M.Sc (Rektor Universitas Al Azhar Indonesia).  Diskusi ini dimoderatori oleh: Khalifardinof, SE (CMO Universe Creative Lab/Pegiat AKAR). Dalam pengantarnya moderator mengangkat empat  isu pokok yang menyertai pendidikan di negeri ini: (i) merebaknya paham radikalisme; (ii) kian meredupnya filosofi pendidikan yang dipikirkan para pendiri negara yang tercantum dalam konstitusi; (iii) kekhawatiran tergerusnya secara perlahan-lahan paham kebangsaan dan ke-Indonesiaan; dan (iv) kemajuan teknologi informasi berbasis digital yang mendisrupsi semua aspek kehidupan dan budaya masyarakat. Aneka ragam isu ini tentu mempengaruhi seluruh proses pendidikan Indonesia. Permasalahan ini tentu jadi catatan penting bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan Indonesia di masa datang. Pasalnya, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat ternyata melahirkan suatu “distorsi” baru di ruang publik. Munculnya, fenomena post-truth yaitu suatu kondisi yang memosisikan fakta objektif tidak lagi memberikan pengaruh besar dalam membentuk opini publik. Sebaliknya,  keyakinan pribadi dan ketertkaitan emosional yang mendapatkan dukungan dari masyarakat banyak (publik) sekalipun itu kebohongan (hoax) bisa jadi berubah menjadi kebenaran. Fenomena ini memicu radikalisme dan juga mempengaruhi cara pandang para pendidik/akademisi.  Untuk meyakinkan itu, Khalifardinof memutar sebuah Trailer film berjudul “The Social Dilemma” yang terkait 4 isu di atas. Agar mampu memahaminya, kita liat resensi filmya.

Mengutip resensi Film The Social Dilemma yang dibuat LPMDIMENSI (2020) ada esensi penting yang patut jadi bahan pembelajaran dan refleksi.  Dalam film dokumenter ini diceritakan tentang pentingnya media sosial dan membeberkan sisi gelap teknologi internet yang ditenagai  algoritme hingga membawa pada suatu dilema. Film ini mengupas aspek-aspek mengerikan akibat penggunaan media sosial.  Mulai dari mengawasi aktivitas penggunanya secara diam-diam, merekamnya hati-hati hingga memanipulasi tampilan feed agar seorang individu tak mampu lepas dari hegemoni media sosial.

Film yang disutradarai  Jeff Orlowski memberi kesadaran agar penggunaan sosial media mesti menyikapinya secara  cerdas. Film ini mampu membongkar dampak negatif media sosial.  Diantaranya: interaksi antara individu yang kian menurun akibat lebih nyaman dengan ponselnya, pengaruhnya terhadap kesehatan mental, beredarnya informasi yang kurang valid hingga hal mendasar yang berkaitan dengan kepentingan  negara. Di sisi lain, film ini juga menyoroti sejumlah dampak positif bagi pengguna media sosial. Kehadiran media sosial, mempermudah penggunanya mengakses dan mendapatkan informasi serta dapat terkoneksi secara cepat dengan siapa saja (http://www.lpmdimensi.com/…/resensi-film-the-social…/). Resensi ini juga telah diulas secara singkat oleh Khalifardinof. Poin penting terkait dengan pendidikan ini bahwa jangan sampai anak didik kita justru lebih banyak terpengaruh sisi negatif media sosial ketimbang positifnya bagi penggunaannya.

Sebelum materi Prof. Dr. Asep Saefuddin dipaparkan, diawali pengantar oleh Muhamad Karim (Lurah Komunitas AKAR).  Di awal sambutan, Karim mengutip pemikiran Umbu Landu Paranggi, seorang penyair besar — yang digelar “Presiden Malioboro” di tahun 1970-an di Yogyakarta. Ia  wafat 6 April 2021. Pemikiran dimuat di Majalah Balairung No.30/Th.XIV/1999. Kata Umbu:

….“kapasitas intelektual dengan apresiasi seni mesti berjalan seimbang. Ia menyetujui pendapat Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, Mantan Rektor UGM. Lalu kata Umbu, Pendidikan kita selama ini memang mengarahkan kita menjadi “Habibie-Habibie”. Itu wajar dan normal, tetapi perjalanan hidup sebagai manusia tidak selalu begitu. Prestasi ilmiah harus setara dengan prestasi insaniah. Tak cukup kita ke bulan, ke langit, tanpa ditopang oleh kekayaan batin. Semua yang rasional itu ada batasnya. Bekal semacam ini wajib dimiliki oleh seorang pemimpin” (balairungpress.com/2018).

Kata Karim, begitulah pandangan kritis seorang penyair besar. Maknanya mendalam dan substansial. Substansinya sama dengan pendangan Bapak Pendidikan Kita, Ki Hadjar Dewantara. Katanya:’Pendidikan dan Pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir”. Kata  kuncinya: keseimbangan.   Mengapa diskusi AKAR mengangkat tema ini? Soalnya ada masalah dalam pendidikan kita saat ini. Apalagi pemerintah cenderung inkonsisten terkait kebijakan pollitik dan kelembagaan dalam pendidikan kita. Kini pemerintah berencana mau menggabungkan kembali Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Ristek Dikti. Padahal sebelumnya sudah digabung. Ada apa?  Apalagi di tengah pandemi Covid-19 ini, proses pendidikan kita berubah total.

Ditambah pula lahirnya kebijakan menimbulkan pro kontra. Teranyar lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. PP ini tak mencantumkan lagi Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai Standar Nasional Pendidikan. Lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan buru-buru mengklarifikasi dengan alasan kesalahan teknis dalam penulisan. Ini bukan teknis. Ini soal substansi. Jadi, tak mungkin abai. Lalu muncul lagi Kamus Sejarah Indonesia jilid I dan II yang tak memasukan pelaku sejarah dan tokoh pendiri negara ini. Ada apa? Semua tokoh yang memperjuangkan dan mendirikan negara ini wajib masuk dalam kamus sejarah. Apa pun garis politik dan latar belakangnya. Apakah Kaisar Nero yang membakar dan membangun kembali kota Roma harus dihapus dari sejarah kebesaran Romawi? Apakah Hitler yang fasis itu harus dihapus dari sejarah Jerman? Tentu tidak.

Dalam pandangan Karim pendidikan di era digital ini nyatanya kian menjauhkan dari cara pandang monodisiplin (orthodox). Ilmu berkembang pesat. Ada saling ketergantungan satu dengan  lainnya. Lahirlah paradigma baru pendidikan yang pluralis/heterodoks. Ilmu menjadi multidisiplin, transdisiplin dan interdisiplin. Saat ini tak ada ilmu pengetahuan yang tak beririsan dengan teknologi informasi (digital). Itu kenyataan.

Lebih ekstrim lagi dengan kemajuan teknologi informasi yang mendisrupsi segala hal telah memunculkan model pendidikan tinggi digital tanpa harus ada ruang kuliah. Ini ancaman seriu sbagi perguruan tinggi. Bahkan bisa jadi di masa depan ada sekolah tanpa guru atau universitas tanpa dosen. Guru dan dosennya bisa berbentuk hologram. Penddidikan tak lagi dibatasi ruang dan waktu. Kini telah lahir kampus digital di Amerika Serikat. Kampus yang mahasiswanya  suka-suka memilih kurikulum. Makanya akan lahir sarjana tanpa kampus.  Hal ini dibenarkan moderator bahwa “kampus digital” itu namanya University of The People”.  Revolusi pendidikan yang amat radikal.

Pemapar dalam diskusi ini adalah Prof. Dr. Asep Saefuddin dan Dr. Aceng Hidayat. Sayangnya, Dr Aceng berhalangan memberi materi karena ada aktivitas di IPB University yang tak bisa ditinggalkan.  Pemateri diskusi akhirnya diisi oleh Prof. Asep.  Dalam paparannya Prof. Asep mengawalinya dengan sejarah peradaban manusia sebagai homo sapiens. Ia juga menceritakan Homo neanderthalensis: salah satu fosil manusia purba yang disinyalir memiliki kekerabatan dekat dengan nenek moyang manusia modern (Homo sapiens). Homo neanderthalensis ciri-cirinya mirip manusia dan mereka hidup 300.000 tahun silam (https://tirto.id/sejarah-homo-neanderthalensis-penyebaran…). Manusia modern berbeda dengan Homo neanderthalensis karena memiliki kekuatan otak. Di situ melahirkan kebijaksanaan dan mampu berpikir dan mengembangkan informasi. Manusia modern juga mampu bekerjasama. Inilah yang membedakannya dengan simpanse yaitu anggota dari keluarga Hominidae, yang sama dengan gorila, manusia, dan orangutan. Salah satu produk otak manusia adalah teknologi. Lewat teknologi manusia modern dapat berkomunikasi satu dengan lainnya. Bahkan bisa bekerjasama dengan orang tidak kita kenal sekalipun. Contohnya, teknologi digital yang kini menguasai dunia dengan ragam media sosial yang dikembangkan.  Problemnya, manusia modern ini memilliki ego yang tak terbatas (unilimited) ketimbang kemampuan otak yang terbatas (limited). Menyetir trailer film The Social Dilemma, menurut Prof. Asep kejadian yang digambarkan dalam film itu akibat “ego kolektif” yang tinggi akibatnya menimbulkan pertempuran. Menurut Prof. Asep untuk menghindari fenomena dalam film The Social Dilemma itu, maka solusinya adalan pendidikan yang holistik.  Jika tidak demikian, maka pendidikan hanya akan melahirkan brutalisme dalam diri manusia. Pendidikan tak mampu menyelesaikan masalah menimbulkan situasi yang kacau balau (chaotic).

Pendidikan holistik adalah “kata kunci” yang ditawarkan Prof. Asep yang dipengaruhi berbagai aspek. Diantaranya ekonomi, kesehatan, pangan dan pertanian, lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta sosial, budaya, politik dan agama. Kesemuanya ini akan mempengaruhi perkembangan penddidikan di masa datang. Ia mencontohkan: pendidikan tak bisa menihilkan kesehatan. Kesehatan juga berkaitan dengan konsumsi pangan manusia. Lahirnya obat-obat herbal dan budaya manusia yang mengkonsumsi pangan organik adalah fakta bahwa proses pendidikan di masa datang tak bisa lagi superfisial. Pendidikan pun tak bisa juga linier sebab ilmu pengetahuan sudah bersifat transdisiplin dan interdisiplin. Dalam ilmu ekonomi berkembangan pendekatan pemikiran ekonomi heterodox dan juga endogenous growth. Pendidikan juga tak bisa melepaskan diri dari dampak lingkungan yang berkembang akibat perilaku manusia yang eksploitatif. Artinya, pendndikan mesti mengajarkan manusia agar berperilaku yang menghargai keberlanjutan alam dan sumberdayanya. Akibatnya tak memproduksi polusi dan pencemaran (udara, perairan). Misalnya, anak didik mesti diajarkan untuk tak  membuang sampah sembarangan.

Begitu pula kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.  Supaya kemajuan teknologi informasi tak mendisrupsi secara sosial, maka dibutuhkan “pengelolaan ego kolektif”.  Sebab, jangan sampai terjebak industrialisasi dan superfisialisasi yang menyebabkan “pendidikan yang berkebudayaan”, teralienasi. Problemnya, kebebasan berpikir (freedom of thinking) dalam konteks pendidikan di Indonesia ini  menjadi terkungkung. Pemicunya adalah seperangkat aturan administrasitif yang buat negara dan birokratisasi pendidikan yang mematikan kekebasan berpikir. Ditambah lagi masih suburnya perilaku feodalisme dalam pendidikan yang memaksakan paradigma, metodologi dan sifat ego yang merasa paling khatam dalam suatu keilmuan.  Prof. Asep mencotohkan di Kanada, Guru hanyalah sebagai “motivator” yang memberikan “kebebasan” berkreasi bagi anak didik dalam menjalani proses pendidikan secara otonom, gembira dan berbudaya. Salah satunya menghilangkan adanya meja dan kursi, sehingga hanya menggunakan karpet. Artinya, pengembangan jiwa kolektivisme, kerjasama, dan pengelolaan ego berlangsung dalam proses pendidikan dasar. Pendek kata pendidikan holistik memosisikan pendidik/guru sebagai motivator yang tak mengekang kebebasan berpikir.

Selain pemikiran yang dikemukakan dalam diskusi ini, juga disajikan pemikiran pendidikan Prof. Asep telah dimuat di Koran Tempo, Jumat 30 April 2021. Tulisan tersebut berjudul “Pendidikan Humanis yang Berkebudayaan”.  Tulisan diawali dengan isu kontroversi Peraturan Pemerintah No 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan dan terbitnya kamus sejarah Indonesia yang menghilangkan beberapa tokoh bangsa telah memicu ragam reaksional. Dalam pandangan Prof. Asep, kejadian ini sejatinya hanyalah puncak gunung es yang menyelimuti dunia pendidikan kita saat ini.  Terkesan ada disorientasi dalam proses pendidikan kita dewasa ini. Perubahan dan transformasi yang berlangsung terkesan mengabaikan aspek kesejarahan dan budaya Indonesia.

Mengapa demikian? Secara historikal pendidikan di Indonesia sejatinya bukan sekedar memberikan pengetahuan dan keterampilan. Akan tetapi, pendidikan semasa pra dan pasca kemerdekaan sebagai alat perjuangan merebut “hak kemanusian” bangsa termasuk kemerdekaan jati diri Indonesia. Ada nilai-nilai yang terpatri dan diperjuangkan di dalamnya. Ada nilai keadilan, kedaulatan, kebajikan (budi pekerti, cita rasa dan karsa), nasionalisme, kemanusiaan, dan religiusitas hingga budaya. Makanya, dalam Pembukaan UUD 1945 salah satu tujuan bernegara kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu dicantumkan dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 31. Ditegaskan dalam pasal ini bahwa pendidikan sebagai hak warga negara. Artinya setiap warga negara mesti cerdas tak hanya secara intelektual-individual. Melainkan juga cerdas secara sosial. Sebab, pendidikan itu adalah proses kebudayaan. Prof. Asep mengutip tulisan Daoed Joesoef:

…”dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Tanah Air tercatat jelas bahwa Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang sewaktu masih dijajah berani mendirikan sekolah bersistem nasional berhadapan dengan sekolah kolonial Belanda. Sekolah nasional itu adalah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Ada Indonesische Nijverheid School yang didirikan Moh Syafei di Kayu Tanam dan Normal School yang didirikan oleh Willem Iskander di Tano Bato (Kompas 7/11/2014)”.

Makanya, Daoed Joesoef menolak keras untuk memisahkan “pendidikan dan kebudayaan” dalam kelembagaan kementerian pendidikan di Indonesia. Pasalnya pemisahan itu menandakan adanya kekeliruan  memahami pendidikan kita. Ia pun mengkritis FRI (Forum Rektor Indonesia) yang mengusulkan pemisahan itu. Ia menganggap FRI tak menyadari ide humanitarian yang membentuk lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang mereka pimpin. Saya kutip kritik Joesoef:

 “proses pendidikan tinggi di mana pun di dunia ini berusaha menghasilkan ”budayawan” (man of culture), bukan ”ilmuwan” (man of science). Walaupun tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. Sebab, ilmu pengetahuan tanpa budaya bisa tergelincir ke teknologi (applied science) yang menghancurkan manusia itu sendiri. Bahkan kebudayaan adalah basis kultur pendidikan. Beliau pun menguatkan kritiknya dengan meminjam Prof. Bronowski yang menyatakan bahwa: ”It is not the business of science to inherit the earth, ”but to inherit the moral imagination; because without that, man and belief and science will perish together.” (Kompas 7/11/2014)”.

Dalam konteks, peradaban pendidikan pulalah yang membentuk dan memajukan peradaban dunia. Abad pencerahan Eropa dan kemajuan peradaban Islam 500 tahun di masa keemasannya karena proses pendidikan yang berkelindan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Indonesia pun mencapai kemerdekaannya karena kontribusi kaum terpelajar yang terdidik dalam menggalang pergerakan nasional. Salah satunya Bapak Pendidikan Nasional Kita, Ki Hadjar Dewantara. Saya kutip pemikirannya: ’Pendidikan dan Pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir”. Kalau mencermati pemikiran Ki Hadjar Dewantara tujuan akhir dari proses pendidikan itu adalah “kebahagiaan”. Para pejuang itu adalah mereka yang paham kebudayaan, bukan sekedar ilmu pengetahuan dan teknologi, apalagi sekedar keterampilan.

Kini dunia mengalami perubahan yang serba cepat dan eksponensial. Perubahan ini dipicu kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dunia pendidikan juga mengalami hal serupa yang familiar disebut era disrupsi. Menariknya lagi, era disrupsi ini mengakibatkan ilmu pengetahuan (science) tak lagi berdiri sendiri. Melainkan,  mengalami saling ketergantungan satu sama lain. Ilmu pengetahuan kian menjauhkan dirinya dari paradigma monodisiplin (orthodox).  Ilmu pengetahuan jadi berinterelasi dan berkelindan. Lahirlah paradigma dan ekosistem baru pendidikan yang pluralis/heterodoks. Tak lagi kaca mata kuda. Ilmu pengetahuan berkembang pesat secara multidisiplin, transdisiplin dan interdisiplin (Gerber dan Steppacher, 2012). Simaklah, apakah saat ini ada ilmu yang tak mempunyai irisan dengan teknologi informasi (digital)? Rasanya nyaris semuanya beririsan. Namun demikian, dinamika era disrupsi ini mestinya tak menggerus cara pandang pendidikan kita yang memang telah pluralis/heredodoks secara paradigmatik.

Mengutip Colombo (2012), bahwa paradigma pendidikan pluralis/heterodoks mengacu tiga hal, pertama, tindakan subjek/pelaku yang berbeda (baik yang agensi tunggal maupun kolektif). Kedua, kemungkinan mengkombinasikan kerangka kognisi berbeda (kuncinya interpretatif, dan bahasa). Ketiga, kultur inklusivitas  dalam mengekspresikan sekumpulan nilai yang berbeda (baik ideologi, cara berpikir, kepercayaan dan agama) dalam bingkai kesatuan. Pendekatan “pluralis/heterodoks” ini bakal menghasilkan pendekatan “hibrid” yang khas dalam pendidikan Indonesia. Mengapa demikian? Sebabnya, kondisi sosial-ekonomi dan budaya serta cita-cita yang dikehendaki pendiri negara memang demikian.

Jadi, pendidikan kita tak lagi memproduksi manusia sebagai “agen dan robot-robot kapitalisme”. Melainkan, menghasilkan manusia-manusia cerdas, berbudaya dan memiliki etika yang beradab. Konsepsi pendidikan yang bersifat “hibrid” yaitu, pertama, mensinergikan, menyerap dan adaptif terhadap nilai-nilai modern terutama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya, dalam metodologi riset dan pengajaran tak hanya bersifat tunggal. Melainkan, heterogen atau kombinasi yang inovatif-kreatif.

Kedua, menginternalisasikan ideologi dan “weltanschauung” bangsa Indonesia. Weltanschauung yaitu orientasi kognitif mendasari individu maupun masyarakat yang mencakup seluruh pengetahuan dan sudut pandang individu atau masyarakat (kesadaran kolektif atau collective consiousness). Termasuk di dalamnya filsafat alamiah (filsafat etnik Nusantara), anggapan fundamental (kebenaran universal yang mendasar), eksistensialis, dan normative, tema, nilai, emosi, hingga etika keadaban. Pemahaman semacam ini memosisikan “nilai” (values) sebagai hasil penafsiran terhadap dunia yang terintegrasi.

Ketiga, nilai-nilai agama yang inklusif dan juga tradisi/kearifan lokal. Umpamanya, di China, Korea dan Jepang ada nilai konfusianisme dan Budhisme. Mungkinkah, nilai-nilai agama di Indonesia dan tradisi Nusantara (baca: budaya bahari, sunda wiwitan) juga mewarnai budaya pendidikan kita?

Prof, Asep, percaya bahwa lewat konsep hibridisasi ketiganya, proses pendidikan yang meng-Indonesia bakal berkembang dan berdaya saing. Pada akhirnya, proses pendidikan kita tak lagi menimbulkan problem struktural maupun kultural yang menimbulkan polemik. Melainkan sebuah model pendidikan khas Indonesia yang humanis, berkebudayaan dan beradab. Pendidikan dengan paradigma dan pendekatan semacam ini bakal “melahirkan manusia Indonesia humanis, berawawasan kebangsaan, berbudaya dan cerdas secara individu sekaligus sosial.  Mereka adalah nasionalis yang berwawawan terbuka terhadap konektivitas global tanpa menghilangkan identitas ke-Indonesiaannya.

Tentu pemikiran ini membutuhan rumusan konsep yang komprehensif dan terintegrasi sehingga proses pendidikan kita tak ketinggalan atau bahkan digilas kereta kemajuan. Sekaligus juga tak menggerus ideolog nasional, wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an kita dalam bingkai kesatuan dalam keragaman atau bhineka tunggal ika. Itulah esensi pendidikan humanis yang berkebudayaan dalam pemikiran saya.

Kami komunitas AKAR berharap pemikiran yang berkembang secara dialektik dalam diskusi Jumat 30 April 2021 ini dapat bermanfaat bagi kemajuan pendidikan di Indonesia  di masa datang.

Sumber:
Komunitas AKAR