Jakarta, CNN Indonesia — Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai bahwa gerakan pengambilalihan kekuasaan atau kudeta partai Demokrat merupakan sesuatu yang baru karena melibatkan pihak eksternal.
Hal ini, menurut dia, berbeda dengan polemik yang menimpa sejumlah partai terdahulu termasuk kisruh dualisme kepengurusan PKB yang melibatkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin).

“Bedanya, hari ini yang kudeta pihak luar, pihak yang bukan kader. Pihak yang memang orang Istana. Kalau Muhaimin dan Gus Dur itu kan sama-sama kader, sama-sama elite partai, sama-sama internal,” kata Ujang kepada CNNIndonesia.com saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (7/3).

Ujang menuturkan kepentingan pihak penguasa terhadap partai politik tak bisa dikesampingkan begitu saja. Intervensi penguasa, menurut dia, sangat nampak di peristiwa pengambilalihan partai Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu.

“Kalau dulu intervensi tak terlihat, seolah-olah SBY itu membiarkan. Kalau sekarang terlihat, karena yang kudeta orang luar dan Moeldoko bagian dari istana itu,” imbuhnya.

Terkait kisruh partai berlambang mercy, Ujang mempunyai sejumlah dugaan yang cenderung mengarah kepada kepentingan kekuasaan.

Beberapa kecurigaan tersebut yakni terkait dengan penggembosan partai oposisi, kemungkinan menghabisi trah Cikeas hingga kepentingan Moeldoko untuk pemilihan presiden tahun 2024.

Lihat juga:34 DPD Demokrat Bergiliran Ucap Sumpah Setia di Hadapan AHY
“Parpol itu polanya hampir sama. Sejarah selalu berulang, tapi dengan cara-cara dan aktor berbeda,” pungkasnya.

Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, berpendapat bahwa konflik internal partai politik yang kemudian menyeret serta kekuasaan bukan hal yang baru. Kata dia, intervensi kekuasaan tidak selalu mudah dideteksi sebab ada ‘tangan tak terlihat’ atau invisible hand di balik kudeta suatu partai politik.

Hal itulah yang terjadi dalam polemik partai Demokrat saat ini dan PKB pada 2008 silam.

“Misal, pada saat Cak Imin memegang kekuasaan dalam PKB karena menang lewat pertarungan lewat pengadilan, itu kemudian invisible hand bukan tidak bermain. Sebab, kita tahu kemudian bahwa Gus Ipul, Gus Ipul kalau enggak salah waktu itu sudah jadi menteri,” ujar dia.

“Itu Gus Ipul berusaha untuk bisa melakukan interupsi ke dalam PKB. Di satu sisi kita paham Gus Ipul bagian dari representasinya NU dan PKB juga, tapi pada saat kepemimpinan awal pascakonflik itu, Gus Ipul adalah orang luar,” tambahnya.

Berbeda dengan Ujang, Arif menilai Moeldoko tidak serta merta bisa langsung dikaitkan dengan penguasa yakni Presiden Joko Widodo.

“Sampai hari ini tudingan yang sungguh-sungguh konkret bisa dibuktikan itu hanya sebatas Moeldoko. Bahwa Moeldoko anak buahnya Jokowi, iya. Tapi tak seorang pun yang mengatakan bahwa Jokowi terlibat. Itu invisible-nya memang begitu,” pungkas dia.

Arif menambahkan, perpecahan partai politik lebih mudah terjadi jika partai tersebut berada di luar pemerintahan atau oposisi. Pola yang terjadi dalam kisruh partai Demokrat, menurut dia, justru berbeda dengan peristiwa sebelumnya.

“Yang membedakan konflik partai Demokrat ini dibanding konflik sebelumnya adalah pertama bahwa di dalam partai Demokrat itu terjadi regenerasi politik,” ucap dia.

Ia memperkirakan kisruh akan berkepanjangan apabila Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku ketua umum tidak mampu mengonsolidasikan pihak yang berseberangan. Hal itu pula, lanjut Arif, yang nantinya akan semakin memperlemah partai Demokrat.

“Bagi saya pertanyaan penting bagi partai Demokrat apakah mereka akan mampu melakukan konsolidasi, itu bergantung seberapa besar kompensasi yang mampu diberikan oleh AHY terhadap faksi-faksi,” pungkasnya.

Sumber

CNN Indonesia