Pada Senin (1/2/2021), pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan sejumlah politikus senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Myanmar ditangkap.

Penangkapan tersebut dilakukan oleh tentara militer Myanmar, Tatmadaw. Kudeta ini dilakukan karena militer enggan mengakui pemerintahan sipil dan kemenangan Partai NLD pada pemilu 2020 lalu.
Militer berdalih, NLD menang pemilu dengan cara curang. Oleh sebab itu, mereka melakukan kudeta terhadap pemerintahan Suu Kyi.
Menurut dosen Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia Mokhamad Luthfi, tuduhan militer tidak dapat dibuktikan.

“Alasan Tatmadaw melakukan kudeta karena krisis politik disebabkan tuduhan Tatmadaw terkait adanya kecurangan pada pemilu Myanmar November 2020. Hal ini tidak dapat dibuktikan oleh Tatmadaw dan menjadi krisis politik,” ucap Luthfi kepada kumparan, Senin (1/2/2021).
Luthfi mengatakan, sampai saat ini militer Myanmar merasa memiliki kewajiban untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan. Namun menurutnya, hal ini menjadi alasan militer Myanmar untuk masuk ke politik sipil pemerintahannya.

Dia bahkan menyebut, tindakan kudeta yang dilakukan bukti militer Myanmar melakukan kebohongan besar. Sebab, militer sebab berkomitmen menjaga dan menghormati demokrasi.
“Kudeta Tatmadaw terakhir membuat upaya transisi demokrasi sesuai konstitusi 2008 yang terjadi di Myanmar terhenti. Disiplin Tatmadaw untuk mengembangkan demokrasi (discipline-flourishing democracy) seolah menjadi jargon kosong. Media barat seperti New York Times bahkan menyatakan kudeta tersebut seperti bukti kebohongan militer Myanmar dalam komitmennya untuk demokrasi,” pungkas Luthfi.

“Pada akhirnya, kudeta militer terhadap pemerintahan sipil biasanya akan melahirkan kudeta-kudeta militer berikutnya. Kecuali apabila militer memiliki komitmen kuat untuk mereformasi dan kembali menjadi militer profesional,” lanjut Luthfi.

Selain itu, dari pengamatan Luthfi ada beberapa alasan kenapa militer ingin masuk ke dunia politik. Alasan pertama karena adanya krisis dan celah krisis politik untuk dimanfaatkan.
Kedua, yaitu keinginan untuk melanggengkan kekuasaan militer dalam politik. Alasan ketiga yakni otoritas sipil yang tidak percaya diri saat memerintah.
“Untuk kasus kudeta di Myanmar terakhir, nampaknya poin 1 dan 2 tersebut cocok,” ucapnya.

Sumber

Kumparan