tirto.id – Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya yang sebentar lagi purnatugas, dikabarkan ditawari jabatan menteri sosial. Ia bakal menggantikan Juliari Batubara yang tersandung kasus korupsi dana bantuan sosial untuk masyarakat terdampak COVID-19 beberapa pekan lalu. Risma dan Juliari sama-sama pengurus struktural di DPP PDI Perjuangan: Risma adalah ketua bidang kebudayaan, sementara Juliari wakil bendahara umum. Kabar ini awalnya dilontarkan oleh Plt Ketua DPD PSI Surabaya Yusuf Lakaseng.
“Saya dapat kabar bahwa Bu Risma ditunjuk Presiden RI Joko Widodo menjadi menteri sosial di Kabinet Indonesia Maju,” kata dia saat tasyakuran kemenangan Eri Cahyadi dan Armuji, Wali Kota-Wakil Wali Kota Surabaya terpilih, Minggu (13/12/2020). “Di Surabaya, wali kota bisa langsung meloncat ke menteri tanpa harus menjadi Gubernur Jawa Timur terlebih dahulu. Ini menunjukkan kalau Surabaya itu kota mendunia,” tambahnya.
Risma kaget mendengar kabar itu dan berdalih belum mendapat tawaran apa pun dari Jokowi. Namun, bila memang ada permintaan itu, Risma memilih menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. “Nanti kita lihat, saya ikut Bu Mega saja,” kata Risma saat ditemui wartawan di rumah dinasnya Jalan Sedap Malam, Surabaya, Senin (14/12/2020). “Nanti dilihat dulu, istikharah, bisa apa tidak? Nanti iya, iya, tapi ternyata tidak bisa, gimana?”
Pernyataan untuk menyerahkan pemilihan kursi menteri sosial yang baru kepada Megawati juga keluar dari mulut Ketua DPP PDIP Bidang Luar Negeri Ahmad Basarah. Kata dia, siapa pun kader PDIP yang akan direkomendasikan sebagai menteri sosial, “adalah wewenang dan hak prerogatif Bu Mega sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan.”
“Keluarga besar PDI Perjuangan menyerahkan sepenuhnya kepada ketua umum atas keputusan siapa yang akan diusulkan.” Setelah diusulkan, dia bilang keputusan terakhir tetap ada di tangan Jokowi. “Keputusan pengangkatan seseorang menjadi menteri adalah hak prerogatif Presiden Jokowi,” kata Basarah, Senin. PDIP Kota Surabaya juga demikian. Mereka menyerahkan kewenangan itu ke “pusat”. “Semua itu adalah kewenangan pusat. Kami tidak bisa mencampurinya,” kata Ketua DPC PDIP Surabaya Adi Sutarwijono, Selasa (15/12/2020).
Serangkaian ucapan para petinggi PDIP ini mengasumsikan kalau mereka percaya jatah kursi menteri sosial akan diisi kembali oleh kader sendiri meski yang diberi tanggung jawab untuk itu malah terjerat korupsi. Bahkan, hingga naskah ini ditulis (15/12/2020), Juliari Batubara belum dipecat dari partai. Mengapa Harus Izin Megawati? Pengajar ilmu politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin menilai masuk akal jika PDIP percaya diri kadernya akan menjadi menteri sosial lagi. Menurutnya itu karena jatah kursi menteri untuk mereka tak mungkin dikurangi. “PDIP sudah berjasa dua kali mengusung dan memenangkan Jokowi di pilpres,” Ujang menjelaskan alasannya saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa sore. “Tak akan lari kursi menteri sosial itu ke partai lain.
Makanya PDIP sangat percaya diri.” Oleh karena itu masuk akal pula melihat ucapan para petinggi PDIP—termasuk Basarah dan Risma—yang menyerahkan nama kandidat kepada Megawati. Sebab secara tidak langsung kursi menteri sosial adalah jatah PDIP dan semuanya harus lewat restu dan rekomendasi ketua umum. “Kuncinya memang Megawati, bukan Jokowi. Mega yang ajukan nama ke Jokowi, Jokowi yang eksekusi.” Dia memberi contoh bagaimana restu Megawati sangat signifikan saat pembentukan kabinet 2014 lalu, di periode pertama pemerintahan Jokowi. Politikus PDIP Maruarar Sirait sudah memakai baju berwarna putih, pertanda dia bakal diangkat jadi menteri namun akhirnya batal. Ujang menduga itu karena tak ada restu dari Megawati.
Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Ikhsan Maulana menilai seharusnya Jokowi tetap bisa memilih menteri secara bebas, termasuk dari partai lain. Dia sendiri mengatakan idealnya kursi menteri sosial diisi oleh kalangan profesional. Pemilihan kalangan profesional semakin penting karena sudah ada dua menteri sosial di pemerintahan Jokowi yang tertangkap KPK dan keduanya adalah kader partai: Idrus Marham (2018) dan Juliari Batubara (2020). “Hal ini dapat dilihat sebagai keseriusan Presiden dalam mengupayakan perlindungan sosial kepada masyarakat di tengah pandemi, sebagai keseriusan dalam memerangi korupsi, serta memperbaiki citra bantuan sosial yang selama ini [dianggap] ‘lahan basah’,” kata Ikhsan saat dihubungi wartawan Tirto.
“Presiden sebagai penanggungjawab akhir dari kinerja para menteri-nya harus berani memilih orang-orang terbaik dan berintegritas untuk bisa menjadi menteri. Jadi untuk penentuan menteri tidak sekedar politik balas budi saja, tetapi lebih mengedepankan profesionalisme,” tambahnya. Meski begitu dia sadar betul bahwa hal itu cukup sulit terealisasi. “Saat rakernas saja, sebelum pembentukan kabinet Jokowi-Amin, PDIP sudah bersuara kalau mereka harus mendapatkan kursi menteri lebih banyak,” katanya. “Jadi untuk mengurangi jatah kursi menteri, Jokowi-Amin akan sangat sulit.” Wartawan Tirto telah menghubungi dua pengurus pusat PDIP, Ketua Bidang Kesehatan dan Anak Sri Rahayu dan Wakil Sekretaris Jenderal Sadarestuwati, via Whatsapp. Namun hingga Selasa sore tak ada respons sama sekali.
Sumber
tirto.id