JAKARTA – Bocah sembilan tahun berinisial RG di Biren Bayeum, Aceh Timur. Menjadi korban kebrutalan pelaku pembunuhan bernama Samsul Bahri.
RG yang hendak menyelamatkan ibunya dari aksi bejatpemerkosaan yang dilakukan Samsul harus meregang nyawa setelah dibacok sang pelaku.
Miris, dari hasil penyidikan Polres Langsa, pelaku pembunuhan ternyata baru beberapa bulan bebas dari Lapas Tanjung Gusta, Medan setelah mendapatkan asimilasi COVID-19. Kasus pembunuhan terhadap bocah RG pun menuai perhatian publik. RG disebut pahlawan yang melindungi kehormatan orang tuanya.
Menanggapi hal ini, pengamat hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad meminta agar kebijakan asimilasi COVID-19 yang diterapkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), harus dilakukan secara cermat, hati-hati dan selektif. Syaratnya tidak sekedar bersifat formil, tetapi harus dilihat secara materiil atau substantif.
“Artinya dari sisi kejiwaan (terpidana) harus dilihat dan dipastikan bahwa yang dapat asimilasi sudah dapat kembali di keluarga dan masyarakat, karena perilakunya sudah baik dan benar,” kata Suparji saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (17/10/2020).
Di sisi lain, lanjut Suparji, kebijakan asimilasi pada COVID-19 juga harus dipantau dan dievaluasi. Menurutnya, warga binaan yang sudah dapat asimilasi harus diketahui keberadaannya dan perilakunya pada masa yang akan datang. “Jika dilakukan asimilasi harus lebih hati-hati sehingga tidak muncul seperti kasus-kasus tersebut,” katanya.
Sumber
SindoNews