Jakarta, CNN Indonesia — Desakan agar Pilkada Serentak 2020 ditunda karena pandemi virus corona (Covid-19) semakin menguat. Terbaru, dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan PP Muhammadiyah yang mengajukan permintaan itu.
Akan tetapi, pemerintah dan partai politik di DPR bergeming. Mereka sepakat pilkada tetap dilanjutkan. Pemungutan suara tetap dilaksanakan serentak di 270 daerah pada 9 Desember mendatang.
Menteri Dalam Negeri Tito karnavian pernah mengatakan bahwa pilkada kali ini justru bisa menjadi ajang pencarian solusi dalam menangani pandemi di setiap daerah. Menurutnya, penanganan pandemi tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah pusat.
“Justru kita balik menjadi peluang untuk makin menekan Covid-19 karena seluruh daerah incumbent akan all out,” kata Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II, KPU, Bawaslu dan DKPP pada 27 Mei lalu.
Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin menganggap pilkada bisa jadi senjata makan tuan pemerintah.
Alih-alih mendapat solusi penanganan corona yang lebih inovatif di daerah, kasus positif justru berpotensi semakin meningkat. Terlebih selama ini penyelenggara juga tak kuasa mencegah pelanggaran protokol corona oleh para bakal calon kepala daerah.
“Jadi kalau dipaksakan akan menjadi senjata makan tuan. Artinya rakyat bisa makin banyak lagi yang bertumbangan karena Corona. Menjaga nyawa rakyat lebih penting dari sekedar pilkada,” ungkap Ujang saat dihubungi, Senin (21/9).
Jika pemerintah dan partai politik tetap ingin melanjutkan pilkada, kata Ujang, maka perlu ada peraturan baru yang lebih tegas untuk para pelanggar protokol kesehatan.
Kalau perlu ada aturan tentang diskualifikasi bagi peserta yang melanggar protokol corona. Menurutnya, aturan semacam itu bisa memiminalisir potensi penularan karena para peserta pilkada akan takut membuat kerumunan massa.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) masih memegang sikap yang sama, yakni meminta pilkada ditunda.
Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil penundaan Pilkada ini bisa dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pemerintah dan DPR perlu menyiapkan kerangka hukum pilkada yang lebih komprehensif, lengkap, dan jelas sebagai pedoman pelaksanaan pilkada di masa pandemi.
Kemudian, yang kedua, Pilkada perlu ditunda, untuk melihat penanganan Covid-19 di masing-masing daerah. Pemerintah perlu mencermati bagaimana potensi risiko, pengendalian, kasus aktif, dan disiplin warga.
“Penundaan penting, sampai hal-hal di atas membaik. Jadi penundaan bukan sampai pandemi berakhir, karena tak tahu kapan akan berakhir,” jelasnya.
Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menilai penundaan pilkada karena wabah Covid tak bisa dilakukan terburu-buru. Menurutnya, seluruh pihak yang berkepentingan harus melaksanakan evaluasi terlebih dulu sebelum memutuskan pilkada ditunda atau dilanjut.
Ia menyoroti soal pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi di masa pendaftaran pasangan calon kemarin. Menurut Jeirry, hal itu bisa terjadi karena penyelenggara tidak dapat mengantisipasi tahapan pendaftaran calon.
Berdasarkan catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tercatat 316 bakal paslon dari 243 daerah melakukan pelanggaran protokol Covid pada pendaftaran pasangan calon 4-6 September lalu.
“Penundaan Pilkada boleh saja, baik saja. Tapi melakukan itu tanpa melakukan evaluasi mendalam dan memetakan letak persoalannya, merupakan sikap dan tindakan yang terlalu terburu-buru,” kata Jeirry
Jeirry juga mewanti-wanti jangan sampai pilkada nanti, jika dilanjutkan, jadi kambing hitam ketika kasus positif virus corona bertambah tinggi.
Jeirry mengatakan bahwa kumpulan massa saat pilkada dan di pasar adalah hal yang sama. Tinggal bagaimana pihak-pihak terkait melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggar protokol.
“Misalnya, dalam tahapan penetapan calon nanti atau kampanye. Pengerahan massa harus dilarang dan jika terjadi harus ditindak dengan tegas. Berikan sanksi sesuai dengan regulasi yang ada,” tuturnya.
Sumber
CNN Indonesia