Jakarta, HanTer – Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin, menyayangkan langkah pemerintah yang diduga menggunakan influencer dan pendengung atau buzzer. Ia mengatakan langkah ini membuat demokrasi Indonesia menjadi rawan terjadi penyimpangan.
“Karena demokrasi tak berjalan dengan normal dan apa adanya. Demokrasi bisa dibajak dan dimainkan oleh para buzzer dan influencer tersebut,” ujar Ujang, Senin (31/8/2020)£.
Ujang menegaskan demokrasi yang normal dan sehat tak membutuhkan buzzer dan influencer untuk menata dan mengelola pemerintahan. Karena itu, ia menilai tak pantas pemerintah menggiring opini dengan menggunakan buzzer dan influencer.
“Itu menandakan ketidakpercayaan diri pemerintah atas kinerja yang telah dilakukannya. Juga bisa mengarah ke manipulasi, karena jika kinerjanya buruk akan diolah oleh buzzer dan influencer agar terlihat bagus,” kata Ujang.
Jika dibiarkan, Ujang mengatakan Indonesia akan kehilangan roh dan spirit untuk bekerja memberikan yang terbaik bagi negara ini. Kerja keras dan kebaikan akan tak lagi dihargai.
Buat Gaduh
Sementara itu, pengamat politik dari Institute for Strategic and Development (ISDS) Aminudin mengatakan, jika adanya aktivitas buzzer di medsos yang narasinya membuat gaduh dan memecah belah maka Presiden Jokowi secara langsung atau tidak turut bertanggung jawab.
“Teror terhadap kampus-kampus yang kritis terhadap pemerintah juga dibaca kalangan aktivis demokrasi dan nasionalis sebagai upaya sistematis membentuk ototaritarianisme atau diktatorisme dalam melempangkan jalan kolonialisme Tiongkok di Indonesia,” ujar Aminudin kepada Harian Terbit, Senin (31/8/2020).
Aminudin menegaskan, sebagai Presiden, maka Jokowi harusnya patuh terhadap konstitusi. Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (machstaat). Kebebasan berpendapat adalah kebebasan dalam berbicara dan berpendapat. Kebebasan berepedendapat di Indonesia, diatur dalam UUD 45 Pasal 28E ayat 3 yaitu “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Sebelumnya, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu mengucapkan kata-kata permohonan kepada Presiden RI Joko Widodo untuk tidak lagi menggunakan buzzer dalam menjalankan roda pemerintahannya. Permintaan ini disampaikannya melalui akun media sosial Twitter @msaid_didu, sambil mengunggah tulisan dari Kompas TV dengan judul Jokowi Merasa Masyarakat Semakin Khawatir dengan Covid-19: Saya Tidak Tahu Sebabnya Apa, Senin (3/8/2020).
“Sekali lagi (Jokowi) mohon hentikan strategi buzzeRp utk menutupi kebenaran krn merekalah yg menyesatkan,” pintanya.
Salah satu alasannya karena Jokowi memiliki semua perangkat negara termasuk anggaran hingga kekuasaan. “Semua perangkat negara di bawah kekuasaan Bapak. Anggaran trilyunan lengkap dengan sarananya serta semua ahli ada di bawah keluasaan Bapak. Anggaran untuk mengetahui juga banyak,” jelasnya.
Untuk diketahui tidak kali ini saja orang yang menuding Presiden Jokowi menggunakan buzzer dalam menjalankan roda pemerintahaan. Sebelum dirinya menjabat dua periode kabar ini sudah beredar luas. Yang paling membekas saat Polri dituding membentuk tim buzzer untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin pada 2019 lalu.
Tudingan dilayangkan oleh akun Instagram @opposite6890 menggunakan video. Menanggapi itu Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo membantah tudingan tak mendasar tersebut.
Sumber
HarianTerbit