Jakarta, CNN Indonesia — Sejumlah keputusan Dewan Pimpinan Pusat PDI-Perjuangan (DPP PDIP) terkait pengusungan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan berkompetisi di Pilkada Serentak 2020 memunculkan gejolak hingga perlawanan. Kader yang lebih dulu bergabung dan merasa layak untuk diusung justru tersingkir. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memilih mengusung sosok baru yang memiliki hubungan keluarga dengan orang nomor satu di Indonesia atau kepala daerah sebelumnya.
Situasi ini mulai terlihat sejak putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, hendak mencalonkan diri menjadi bakal calon wali kota Solo 2020-2025. Kala itu, Gibran baru mendaftar sebagai bakal calon wali kota Solo pada Desember 2019.
Bos martabak itu langsung mendaftar di DPD PDIP Jawa Tengah lantaran proses pendaftaran di DPC PDIP Solo telah ditutup.
Langkah Gibran itu kemudian mendapatkan penolakan dari sejumlah elite PDIP di Solo. Ketua Pimpinan Anak Cabang PDIP Banjarsari, Joko Santoso mengancam pihaknya mendukung Gibran dengan setengah hati, jika Megawati memutuskan mencalonkan bos katering tersebut.
Menurutnya, mengusung Gibran hanya akan merusak PDIP di kota yang juga pernah dipimpin Jokowi dua periode. DPC Solo juga telah memutuskan secara bulat mengusung pasangan Achmad Purnomo-Teguh Prakosa di Pilkada Solo.
“DPC (Solo) mohon maaf, itu instruksi DPP tetap kami terima. Tetapi untuk loyalitas back up Gibran setengah hati,” kata Joko saat dihubungi CNNIndonesia.com, 12 Desember 2019.
Seiring waktu, akhirnya Megawati memutuskan mengusung Gibran sebagai calon wali kota Solo. Gibran didampingi Teguh Prakosa yang juga kader PDIP.
Situasi serupa terjadi di Pilkada Kota Medan. Partai banteng moncong putih lebih memilih mengusung menantu Jokowi, Bobby Nasution daripada kadernya sendiri, Akhyar Nasution.
Keputusan tersebut mendapat perlawanan dari Akhyar. Pelaksana tugas Wali Kota Medan itu pun membelot ke Partai Demokrat. Akhyar kemudian diusung menjadi bakal calon wali kota Medan 2020 oleh koalisi Demokrat-PKS.
Merespons langkah Akhyar yang membelot, PDIP langsung memecat sosok yang merupakan Wakil Ketua DPD PDIP Sumut tersebut. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan partainya tak bisa mencalonkan Akhyar sebagai calon wali kota Medan 2020 karena diduga memiliki masalah hukum.
“Selain karena ambisi kekuasaan juga ada indikasi dugaan berkaitan dengan faktor hukum tersebut,” kata Hasto.
Teranyar, perlawanan terhadap rekomendasi yang dikeluarkan PDIP di Pilkada 2020 terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Wakil Bupati Banyuwangi yang juga kader PDIP, Yusuf Widyatmoko menerima pinangan dari sejumlah parpol lain untuk maju di Pilbup Banyuwangi 2020.
Yusuf mengaku kecewa DPP PDIP lebih memilih mengusung istri Abdullah Azwar Anas, Ipuk Fiestiandani di Pilkada Banyuwangi 2020. Menurutnya Ipuk hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang kebetulan adalah istri seorang bupati.
“Ya tentunya kan, (Ipuk) bukan kader partai, tidak pernah jadi pengurus partai, dia ibu rumah tangga biasa. Hanya karena istri bupati jadi ketua penggerak PKK. Ya, kecewa dong,” kata Yusuf, kepada CNNIndonesia.com, Senin (31/8).
Wakil Bupati Banyuwangi dua periode ini mengatakan, keputusan DPP PDIP tersebut telah menjatuhkan kader-kadernya sendiri, yang selama ini telah mengabdi dan berdedikasi kepada partai.
“Masa partai memberi rekomendasi kepada orang yang (di luar partai), ini kan sangat menjatuhkan. Menjatuhkan kader-kader partai yang sebenarnya punya potensi. Yang mana melalui proses panjang, kader partai ini kan mengabdi,” ujarnya.
PDIP Ingin Menang
Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai, pilihan PDIP untuk mengusung sosok yang bukan kader semata demi memenangkan kontestasi dan menjaga keseimbangan politik. Sosok yang diusung pun tak sembarangan karena masih berhubungan dengan orang nomor satu di Indonesia atau kepala daerah sebelumnya.
“Tentu tujuannya ingin menang dan ingin menjaga keseimbangan politik,” kata Ujang kepada CNNIndonesia.com.
Ujang mengatakan keputusan PDIP tersebut akan semakin melanggengkan keberadaan politik dinasti dan merusak demokrasi. Menurutnya, kekuasaan hanya akan dipegang oleh keluarga politisi yang bersangkutan.
“Jika keluarganya nyalon ya itu bagian politik dinasti yang bisa merusak demokrasi, karena hanya mereka-mereka saja yang berkuasa,” ujarnya.
Serupa, pengamat politik Universitas Padjadjaran Firman Manan mengatakan kandidat dari politik dinasti dipilih lantaran memiliki peluang yang lebih besar untuk menang. Selain popularitas sosok sebelumnya, keberadaan sosok baru yang diusung dari politik dinasti akan memudahkan partai untuk memperluas jejaring politik hingga ekonomi.
“Sisi keuntungan bagi partai, kandidat dari dinasti politik punya peluang menang lebih besar karena ada figur yang sudah populer sebelumnya. Kemudian juga soal jejaring yang dimiliki,” tuturnya.
Di sisi lain, kata Firman, proses seleksi partai yang tak transparan dan akuntabel membuat sosok yang merupakan anggota keluarga kepala daerah petahana maupun orang nomor satu di Indonesia cenderung dipilih hingga membuat kader sendiri tergusur.
Menurut Firman, hal tersebut akan terus terjadi selama demokrasi internal partai belum dilakukan. Akibatnya, banyak kader yang memilih meninggalkan partai dan pindah ke partai lain. Meski demikian, ia menyebut kepindahan para kader tak akan terlalu berdampak pada elektoral partai dalam setiap pesta demokrasi lima tahunan.
“Partai bisa mengkonsolidasikan kembali. Lagi pula di Indonesia kan disiplin partai tidak begitu tinggi, relatif cair sehingga orang bisa pindah ke partai lain. Kalau ada yang kecewa bisa keluar dan itu tidak mengganggu,” katanya.
Sumber
CNN Indonesia