Sosok.ID – Pengacara buron Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, ditetapkan sebagai tersangka.
Bareskim Polri menetapkan Anita sebagai tersangka dalam kasus pelarian terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra.
Sebelum statusnya dinaikkan menjadi tersangka, Anita telah menjalani pemeriksaan sebanyak tiga kali.
Yakni pada Selasa (21/7/2020), Rabu (22/7/2020), dan Kamis (23/7/2020).
“Hasil kesimpulannya adalah menaikkan status saudari Anita Dewi A. Kolopaking menjadi tersangka,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono, Kamis (30/7/2020), dikutip dari Kompas.com.
Anita ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik melakukan gelar perkara pada Senin (27/7/2020), dan kini berstatus sebagai buron.
Sebelumnya, Anita juga telah dicegah ke luar negeri sejak 22 Juli 2020 dan 20 hari berikutnya.
Argo mengatakan, polisi telah mengantingi barang bukti dan memeriksa sejumlah 23 orang saksi dalam kasus tersebut.
Hasilnya, Anita dijerat Pasal 263 ayat (2) KUHP tentang penggunaan surat palsu, ia juga dijerat pasal karena telah memberikan pertolongan pada buron negara.
“Juga kita kenakan Pasal 223 KUHP yaitu barangsiapa dengan melepaskan atau memberi pertolongan ketika meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas perintah penguasa umum, atas putusan atau ketetapan hakim,” ucap Argo.
Terpisah, dikutip dari Warta Kota, Anita dalam tayangan Indonesia Lawyer Club di TV One pada Jumat, (31/7/2020) mengatakan, Djoko Tjandra telah dizalimi penguasa.
Pada kasus pengalihan hak tagih Bank Bali tersebut, muncul dugaan politisasi dalam Peninjauan Kembali (PK) Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Mahkamah Agung (MA).
PK JPU kepada MA pada tanggal 3 September 2008 silam dinilai inkonstitusional karena adanya penzaliman by order (kekuasaan).
“Saya cukup prihatin Pak Djoko Tjandra mengalami proses ini 21 tahun dari 1999. Pak Djoko Tjandra sudah mengalami penahanan rutan maupun tahanan kota. Dia pun bilang ke saya, Anita tolong luruskan biar masyarakat jelas,” kata Anita.
Anita menduga ada campur tangan kekuasaan pada masa pemerintahan SBY, sebab jaksa seharusnya tidak bisa melakukan PK.
“Delapan tahun setelah eksekusi Jaksa pada tahun 2001 yang sudah dijalankan oleh Pak Djoko Tjandra. Jaksa melakukan PK, berarti kedzoliman itu by order,” ungkap Anita.
Hal ini tertuang dalam KUHAP pasal 263 ayat 1, disebutkan bahwa hanya terpidana dan ahli waris saja yang dapat mengajukan PK.
Praktisi hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad angkat bicara terkait polemik PK yang dilakukan JPU kepada MA dalam kasus Djoko Tjandra.
Menurutnya, ada kejanggalan dan kesemrawutan dalam hukum Indonesia.
“Karena yang punya hak PK berdasarkan pasal 263 KUHAP adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya, tidak ada dasar hukum bahwa jaksa (ajukan) PK, yang ada hanya yurisprudensi,” kata Suparji pada Kamis (30/7/2020).
Ia pun mempertanyakan alasan MA mengabulkan PK yang sebelumnya diajukan oleh JPU.
Sebab secara filosofis, jaksa seharusnya membuktikan dugaan tindak pidana dalam sidang tingkat I banding dan kasasi.
“Hal ini menarik karena keterkaitan kekuasaan politik yang pada saat itu berkuasa bisa melakukan (intervensi) demi kepentingan kekuasaan,” jelasnya. (*)
Sumber
Sosok.ID