Jakarta, CNN Indonesia — DPR menampilkan standar ganda terkait gelaran rapat di masa rehat sidang atau reses; lancar dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, macet pada penggarapan kasus Djoko Tjandra.
Diketahui, buronan kasus hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra memicu konflik di internal DPR RI antara Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin dengan Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry, terutama terkiat rencana rapat dengar pendapat (RDP) terkait kasus Djoko.

Rencana menggelar rapat awalnya dilontarkan Herman pada Kamis (16/7). Kala itu, Herman baru saja mendapat salinan surat jalan Djoko Tjandra di Indonesia, yang belakangan diketahui diterbitkan oleh Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.

Politikus PDIP itu berjanji membuka surat tersebut ke publik dalam RDP bersama Polri, Kejaksaan Agung, dan Imigrasi Kemenkumham. Dia menargetkan rapat bisa digelar pada Selasa (21/7).

Namun, kata Herman, DPR telah memasuki masa reses. Sebab itu, ia mengirim surat resmi kepada Pimpinan DPR RI untuk meminta izin menggelar rapat saat reses.

Pada Jumat (17/7) sore, Herman menyebut permohonan itu ditolak. Dia mengatakan Ketua DPR RI Puan Maharani telah memberi izin, tapi surat permohonan tertahan di Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang membidangi urusan politik dan keamanan.

“Informasi terakhir dari sekretariat, surat tersebut tidak ditandatangani oleh Wakil Pimpinan DPR bidang Korpolkam disebabkan ada putusan Bamus yang melarang RDP Pengawasan oleh Komisi pada masa reses,” ujar Herman lewat keterangan tertulis, Jumat (17/7).

Azis membantah tudingan menghalang-halangi Komisi III DPR RI menggelar rapat terkait Djoko Tjandra. Dia bilang keputusan telah dibicarakan di Rapat Badan Musyawarah yang dihadiri Pimpinan DPR RI dan para ketua fraksi.

Politikus Partai Golkar ini merujuk pada pasal 1 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Bahwa, masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.

“Saya hanya menjalankan tata tertib dan hasil keputusan Bamus,” kata Azis kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (18/7).

Terpisah, Anggota Fraksi PKS DPR RI Mardani Ali Sera menyebut keputusan Pimpinan DPR menolak rapat itu tidak tepat.

“Ini masalah extraordinary (luar biasa). Dukung Komisi III laksanakan RDP. Pembahasan RUU Omnibus Law bisa jalan semasa reses periode kemarin,” kata Mardani kepada CNNIndonesia.com, Senin (20/7).+

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai penolakan RDP terkait Djoko Tjandra dengan alasan reses hanya bagian dari sandiwara DPR. Lucius menyinggung rapat pembahasan RUU Cipta Kerja yang juga digelar saat reses.

Dalam catatan CNNIndonesia.com, setidaknya ada lima rapat pembahasan RUU Cipta Kerja selama masa reses 12 Mei-14 Juni 2020. Rapat digelar pada Rabu (20/5), Rabu (3/6), Kamis (4/6), Rabu (10/6), dan Kamis (11/6).

Selain soal Omnibus Law, DPR RI juga menggelar sejumlah rapat terkait Pilkada Serentak 2020. Hasilnya, Pilkada hanya diundur dari 23 September 2020 ke 9 Desember 2020 meski belum ada kepastian akhir pandemi.

“Di masa sidang kemarin mereka tidak menganggap penting reses dengan menggelar pembahasan Omnibus Law. Aneh kemudian saat Pimpinan DPR, khususnya Azis Syamsuddin tidak mengizinkan rapat soal Djoko Tjandra dengan alasan reses,” kata Lucius saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (20/7).+

Lucius menjelaskan rapat di masa reses diperbolehkan jika ada hal mendesak. Pasal 53 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib menyebut rapat harus melalui persetujuan Pimpinan DPR RI setelah berkonsultasi dengan pimpinan fraksi.

Dia berpendapat penolakan Pimpinan DPR RI terhadap rencana RDP kasus Djoko Tjandra perlu dipertanyakan. Lucius menyebut kasus Djoko Tjandra sangat genting karena melibatkan aparat penegak hukum.

“Ada standar ganda di DPR soal mana yang boleh dan tidak boleh dirapatkan di masa reses. Apa jangan-jangan DPR tidak menganggap kasus Djoko Tjandra penting,” tuturnya.

Senada, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menyebut DPR punya dua wajah dalam menyikapi hal yang menjadi perhatian publik.

“Kalau di Romawi ada Dewa Janus yang bermuka dua, DPR di situ tempatnya. Ini cerminan terlalu banyak kepentingan, sehingga banyak hal yang ditutup-tutupi,” kata Ujang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (20/7).

Ujang menilai keputusan ini menjadi cermin ketidakberpihakan parlemen terhadap pemberantasan korupsi.

Dia mengenang bagaimana tahun lalu DPR RI dengan kilat mengesahkan UU KPK baru dengan berbagai aturan yang melemahkan KPK. Saat ini, kata dia, DPR terkesan tak punya niat untuk mengusut pelaku korupsi Djoko Tjandra.

“Sepertinya sengaja diundur ke masa sidang menunggu masyarakat lupa. Kalau publik lupa, kasus dianggap selesai,” ujar dia.

Sumber
CNN