PADA rapat Baleg pada 22 April 2020, Rancangan Undang- Undang Rancangan Ideologi Pancasila (RUU HIP) disahkan masuk Prolegnas Prioritas 2020 pada Rapat Paripurna DPR dan mendapatkan dukungan tujuh fraksi. Fraksi Partai Demokrat tak ikut pembahasan, sedangkan Fraksi PKS setuju dengan catatan menjadikan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsiderans. Keputusan DPR itu menuai kecaman dari berbagai kalangan. Ormas Islam, termasuk Muhammadiyah, NU, dan MUI, menolak RUU itu karena dianggap akan mereduksi nilai Pancasila, khususnya sila pertama karena RUU HIP tak menjadikan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai landasan.

Di satu sisi, RUU HIP dianggap hanya sebagai jalan memperkuat posisi BPIP karena selama ini BPIP hanya berlandaskan perpres. Bila sebelumnya tak ada penolakan, setelah gelombang protes, partai-partai di DPR mulai menarik diri dari persetujuan pembahasan RUU HIP. Partai NasDem salah satunya, menyatakan sikap menolak melanjutkan pembahasan RUU HIP dan menyarankan dicabut. “Kalau UU ini kemudian membuat kegaduhan, untuk apa diteruskan?” ujar Ketua Fraksi NasDem DPR, Ahmad Ali, Rabu (16/7). Selain NasDem, partai lain yang menolak di antaranya PKS, PPP, dan PAN. Munculnya berbagai penolakan membuat pemerintah memutuskan untuk menunda pembahasan. Alasannya tak ingin ada kegaduhan di tengah pandemi dan meminta DPR menyerap aspirasi lebih banyak. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco, mengatakan DPR tentu akan mengikuti keputusan pemerintah. Pembuatan UU memang harus dilakukan DPR dan pemerintah secara bersamaan. Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengatakan, untuk membuat RUU HIP keluar, dibutuhkan prosedur rapat evaluasi prolegnas.

Konflik Penundaan dianggap hanya menunda konflik. Pembahasan RUU HIP didorong berbagai pihak untuk dihentikan. Pakar politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan keputusan pemerintah menunda pembahasan RUU HIP sudah tepat. Namun, akan lebih baik bila dibatalkan. “Tak ada gunanya dilanjutkan lagi karena hanya akan menambah penolakan masyarakat pada RUU HIP tersebut,” ujar Ujang. Ujang mengatakan melanjutkan RUU HIP dapat menyebabkan konflik. Menunda pembahasan sama saja dengan hanya menunda kegaduhan. “Kalau alasannya untuk memperkuat BPIP, buat saja RUU BPIP. Pancasila jangan didistorsi dengan RUU HIP,” ujar Ujang.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dalam keterangan resmi menyatakan Pancasila sudah fi nal dan merupakan warisan terbesar para pendiri bangsa dari berbagai golongan. *“Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada 18 Agustus 1945,” tegasnya. Apalagi di tengah pandemi covid- 19, Indonesia tidak perlu tambahan beban sosial yang menimbulkan krisis politik dan perpecahan bangsa. Senada dengan PBNU, Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mendesak DPR segera mengakhiri pembahasan RUU HIP karena materi RUU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan beberapa regulasi lain. Sementara itu, Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo menegaskan lembaganya membutuhkan payung hukum untuk memperluas penanaman ideologi bangsa. “Sebenarnya memperkuat BPIP dalam pembinaan ideologi Pancasila. Arah pembinaan bisa lebih efektif dalam menjangkau semua lapisan dan BPIP memiliki struktur di bawah,” katanya kepada Media Indonesia, kemarin. Menurut dia, BPIP menilai perlunya dialog dan masukan publik untuk menyerap aspirasi dan penyempurnaan RUU HIP agar eksistensi BPIP menjalan fungsi pembinaan bisa efektif. Termasuk badan itu nantinya memiliki struktur di bawahnya. (Cah/P-5)

Sumber
Media Indonesia