JAKARTA – Pembebasan terpidana mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin (MNZ) merupakan salah satu bagian dari potret hukum di Indonesia yang penuh dengan nuansa ketidakpastian. Bukan hanya karena Nazaruddin yang bebas empat tahun lebih awal, namun perbedaan pendapat antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (PAS) atas pembebasan Nazaruddin. Penerapan justice collaborator (JC) harus diperjelas.
“JC merupakan mekanisme yang belum ada kejelasan sehingga implementasinya tidak jelas kriterianya. Kasus Nazaruddin itu contoh nyata,” kata pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad kepada Koran Jakarta, Minggu (21/6).
Ditjen PAS bersikeras Nazaruddin sudah mengantongi status JC yang dikeluarkan KPK sebagai rujukannya remisi dan pembebasan. Sedangkan pihak KPK menyangkal, dan merasa tidak pernah memberikan JC kepada Nazaruddin.
Suparji menambahkan JC seharusnya tidak bisa diterapkan setelah putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Kalau sudah inkrah, menjadi tidak jelas bentuk kerjasama dalam membongkar kasus. Sehingga, perlu diperjelas dalam penerapan JC ini.
“Sebaiknya ditiadakan saja jika tidak ada regulasi yang jelas dan berpotensi terjadi penyelewengan. Atau ya diperjelas aturannya, jika tidak jelas ditiadakan saja,” katanya.
Ia berpendapat, terpidana korupsi termasuk Nazaruddin tidak pantas mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman. Menurutnya, pemberian JC hingga menyebabkan adanya remisi untuk Nazaruddin telah mengusik rasa keadilan masyarakat.
”Karena yang bersangkutan pernah kabur ke luar negeri sehingga mempersulit proses hukum. Selain itu kejahatan sangat luar biasa, baik korupsi dan pencucian uang secara berulang-ulang. Karakternya juga fair karena menyebabkan orang menjadi terpidana padahal yang bersangkutan tidak punya kesalahan secara empiris. Nazaruddin juga merupakan pelaku utama dalam korupsi,” katanya.
Saat dikonfirmasi kembali, KPK tetap bersikukuh tidak pernah memberikan JC kepada Nazaruddin. Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri menyangkal bahwa dua surat keterangan bekerjasama pada tahun 2014 dan 2017 itu adalah JC untuk Nazaruddin.
“Surat keterangan bekerja sama (tahun 2014 dan 2017), saat itu diberikan setelah (putusan Nazaruddin) inkrah. Tidak disebut surat JC. Kalau JC diberikan berdasarkan surat keputusan pimpinan KPK dan diberikan kepada terdakwa sebelum ada putusan majelis hakim, dan MNZ tidak pernah dapat surat sebagai JC dari KPK,” kata Ali.
Diketahui, Nazaruddin yang menjadi terpidana korupsi bebas dari Lapas Sukamiskin, Bandung setelah mendapat cuti menjelang bebas (CMB). Padahal, dengan total hukuman 13 tahun pidana penjara atas perkara suap Wisma Atlet Hambalang, serta perkara gratifikasi dan pencucian uang, Nazaruddin sejatinya baru bebas murni pada 2024.
Namun, selama masa pembinaan, Nazaruddin telah berulang kali mendapat remisi atau pengurangan masa hukuman baik remisi Hari Kemerdekaan 17 Agustus, maupun remisi Hari Raya Idul Fitri. Secara total, Nazaruddin menerima remisi sebanyak 49 bulan selama menjalani masa pembinaan.
Remisi, CMB hingga pembebasan ini diberikan kepada Nazaruddin, karena Ditjen PAS menganggap Nazaruddin mengantongi JC dari KPK. Dua surat keterangan bekerja sama pada tahun 2014 dan 2017 itulah yang menjadi rujukan Ditjen PAS.
Remisi terhadap terpidana korupsi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 34A ayat (1) aturan itu menyebutkan pemberian Remisi bagi narapidana kasus korupsi selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, juga harus memenuhi persyaratan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. ola/N-3\
Sumber
Koran Jakarta