Merdeka.com – Pakar Hukum Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad minta agar kepolisian yang memanggil pengunggah candaan Gus Dur soal ‘Tiga Polisi Jujur’ meminta maaf. Permintaan maaf ditunjukkan kepada pengunggah atas nama Ismail Ahmad (41) serta publik.
“Kalau memang ini ada sesuatu yang tidak proporsional ya tidak ada suatu alasan untuk yang bersangkutan (polisi) memanggil, tidak ada alasan untuk diproses hukum ya maksud saya ya memanggil pun perlu minta maaf kepada yang bersangkutan. Iya kepada publik juga,” kata Suparji saat dikonfirmasi, Kamis (18/6).
Pasalnya, kata dia pemanggilan tersebut tentu saja menyebabkan tekanan psikologis kepada yang bersangkutan. Belum lagi alasan pemanggilan terhadap Ismail Ahmad tak berdasar.
“Dalam konteks hukum pidana itu yang namanya kritik atau membela diri untuk kepentingan umum juga itu kan tidak masuk dari kategori pencemaran nama baik. Baik (Pasal) 310, 311, 312 kemudian UU ITE gitu loh. Bahkan penghinaan terhadap presiden pun tak masuk dalam kategori jika yang bersangkutan membela diri, untuk bela kepentingan umum atau kritik kebijakan,” jelas Suparji.
Suparji mempertanyakan apa dasar pemanggilan tersebut yang di kemudian hari ia diminta untuk meminta maaf di hadapan publik soal unggahannya tersebut. Kalau pun dianggap mencemarkan institusi, dalam hal ini kepolisian maka itu tidak termasuk pencemaran nama baik yang membuat Ismail layak dipanggil polisi.
“Jadi kalau konteksnya pencemaran nama baik, ya nama baik kan harus menyebut nama orang kan gitu jelas,” jelasnya.
Suparji sendiri menganggap pemanggilan tersebut berlebihan. Mengingat candaan Gus Dur soal Tiga Polisi Jujur itu sudah lama.
“Apa konteks minta maaf ini? Apakah kemudian yang bersangkutan mengaku salah atau yang bersangkutan dianggap salah? Kalau yang bersangkutan dianggap salah apa dasarnya?,” ungkap dia.
Jika hal ini terus berlanjut dan sering terjadi, maka seakan-akan polisi menebar ketakutan kepada mereka yang hendak menyuarakan aspirasinya.
“Jadi perhatian bagi kita semua bagaimana ada ancaman kebebasan berpendapat kan, ancaman kebebasan berekspresi ya dan ancaman kebebasan mengartikulasikan gagasan gitu loh,” tegasnya.
Kritik
Sebagai informasi, apa yang diunggah Ismail adalah bagian dari kritik terhadap pemerintah. Polisi dalam hal ini adalah merupakan bagian dari pemerintahan. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya Nomor 6/PUU-V/2007, pernah mengingatkan bahwa kritik atau pendapat terhadap pemerintah itu adalah hak konstitusional setiap warga. Artinya kebebasan berpendapat dijamin undang-undang.
Saat itu MK memperkarakan gugatan Pasal 154 KUHP yang bunyinya, “Barang siapa menyatakan di muka umum perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiah.”
Serta Pasal 155 KUHP, “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan sehingga kelihatan oleh umum tulisan atau gambar yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.”
MK lantas mengabulkan gugatan tersebut sebagian. Dan, menyatakan kedua pasal itu tak mempunyai kekuatan hukum mengikat alias tidak berlaku lagi.
“Rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa. Seorang warga negara yang bermaksud menyampaikan kritik atau pendapat terhadap Pemerintah, di mana hal itu merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945,” demikian pertimbangan MK, seperti dikutip, Kamis (18/6/2020).
Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan dengan pasal tersebut seseorang akan dengan mudah dikualifikasikan oleh penguasa sebagai pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah sebagai akibat dari tidak adanya kepastian kriteria dalam rumusan Pasal 154 maupun 155 KUHP tersebut untuk membedakan kritik atau pernyataan pendapat dengan perasaan permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan.
“Karena penuntut umum tidak perlu membuktikan apakah pernyataan atau pendapat yang disampaikan oleh seseorang itu benar-benar telah menimbulkan akibat berupa tersebar atau bangkitnya kebencian atau permusuhan di kalangan khalayak ramai,” isi pertimbangan tersebut.
Sebelumnya, Ismail diperiksa Polres Sula, Jumat 12 Juni 2020, dua jam setelah dirinya mengunggah kutipan humor Presiden ke-4 Gus Dur di akun media sosialnya. Kalimat tersebut adalah “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”.
Meski tidak ditahan, Ismail tetap diminta wajib lapor dan memberikan permohonan maaf secara terbuka. (mdk/eko)
Sumber
Merdeka