Jakarta – Tuntutan hukuman 1 tahun penjara bagi Rahmat Kadir dan Ronny Bugis, dua terdakwa penyerang penyidik senior KPK Novel Baswedan, mendapat kritik pedas dari berbagai arah. Keduanya yang didakwa melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP ini dituntut ringan oleh Jaksa lantaran mereka sudah meminta maaf dan kooperatif. Alasan ini menurut beberapa pihak dinilai terlalu hiperbolik.
Novel Baswedan kaget. Ia selaku korban dalam peristiwa ini menilai tuntutan ringan tersebut menunjukkan buruknya penegakan hukum di Indonesia karena norma keadilan diabaikan selama jalannya persidangan.
“Saya melihat ini hal yang harus disikapi dengan marah. Kenapa? Karena ketika keadilan diinjak-injak, norma keadilan diabaikan, ini tergambar bahwa betapa hukum di negara kita nampak sekali compang-camping,” kata Novel dikutip dari Kompas.com, Jumat (12/6/2020).
Pengamat hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia Dr. Suparji Ahmad menilai, alasan yang dinilai Jaksa meringankan mereka dinilai tidak tepat. Menurut Suparji, alasan dia dituntut ringan karena dia sudah minta maaf dan kooperatif tidak tepat dan jauh dari rasa keadilan. Dua terdakwa itu minta maaf ke siapa? Apakah dia minta maaf ke Novel Baswedan dan sebaliknya Novel Baswedan sudah memaafkannya? Sungguh aneh dan jauh dari rasa keadilan tuntutan Jaksa itu.
Suparji juga menilai, alasan kedua terdakwa tidak sengaja yang dipergunakan untuk meringankan tuntutan itu juga mengada-ada. Bagaimana mungkin dia sudah niat untuk menyiramkan air keras ke badan Novel Baswedan dan sudah diperhitungkan dengan matang sampai dia membuntuti penyidik KPK itu merupakan hal yang tidak sengaja adalah hal janggal. Apalagi bila alasannya dia ingin menyiram badan namun yang terkena matanya. Ini merupakan alasan yang aneh dan janggal.
Sementara itu, Menurut Advokat Senior, Hartono Tanuwidjaja SH, MSi, MH, CBL, fakta penegakan Hukum di Indonesia masih jauh dari kata sempurna karena Penegak Hukum aktif yang melanggar Hukum terkait penyiraman air keras kepada penyidik KPK, Novel Baswedan hanya dituntut Satu Tahun yang dinilai melukai rasa keadilan.
“Pelaku Anggota Polri penyiraman Air Keras kepada Penyidik KPK hanya dituntut Satu Tahun saja sedangkan Nenek pencuri kayu jati dituntut Satu Tahun, sedangkan Koruptor yang mencuri uang Rakyat hanya dituntut 1,5 Tahun,” ujar Hartono, dikantornya, Jakarta Pusat (12/6).
Lebih Lanjut Hartono mengatakan, fakta-fakta di atas yang yang menjadikan salah satu keanehan dalam penegakan hukum yang terjadi di Indonesia yang masih amburadul.
“Salah Satu keanehan dalam penuntutan JPU terkait kasus Penyiraman Air Keras Novel, ternyata JPU telah mempertimbangkan tentang adanya Unsur ketidak sengajaan dalam perbuatan pelaku yang Notabene seorang penegak hukum aktif,” tutur Hartono.
Hartono menambahkan terkait penyiraman Air Keras kepada Penyidik KPK tersebut sebagai penegak hukum aktif yang melakukan perbuatan melanggar hukum seharusnya dituntut lebih berat, demi terciptanya asas keadilan hukum di Indonesia.
Seperti diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai keduanya terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dengan pidana selama 1 tahun dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan,” kata JPU yang membacakan tuntutan Rahmat, dalam sidang yang digelar di PN Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020) kemarin.
Rahmat dianggap terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan dan mengakibatkan luka berat pada Novel karena menggunakan cairan asam sulfat atau H2SO4 untuk menyiram penyidik senior KPK itu.
Sedangkan, Rony yang juga dituntut hukuman satu tahun penjara dianggap terlibat dalam penganiayaan karena ia membantu Rahmat dalam melakukan aksinya.
Atas perbuatannya itu, Rahmat dan Rony dinilai telah melanggar Pasal 353 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.(GR/ACL)
Sumber
Bizlawnews