Jakarta, CNN Indonesia — Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali memperpanjang pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta pada Juni 2020, sebagai masa transisi. Dia dinilai sengaja mengambil istilah yang berbeda dengan pemerintah pusat.
Kendati memperpanjang PSBB, pada penerapan kali ini Anies justru melonggarkan aturan-aturan dalam pembatasan sosial. Anies menyebutnya sebagai PSBB transisi, bukan new normal yang selama ini diwacanakan pemerintah pusat.
Beberapa pelonggaran dalam PSBB ini misalnya, Anies mulai membuka tempat ibadah meski hanya untuk kegiatan rutin hari ini.
Selain itu, mulai senin (8/6) mendatang, Anies juga mengizinkan kembali ojek online (ojol) mengangkut penumpang. Kendaraan pribadi juga diperbolehkan kembali diisipenuh asalkan satu keluarga.
Perkantoran, restoran, mal, taman rekreasi juga mulai dibuka meski dengan penerapan protokol kesehatan ketat.
Anggota DPRD Fraksi PDI Perjuangan Jhonny Simanjuntak menilai Anies sekadar bermain kata-kata atas kebijakannya. Menurut dia, kebijakan ini didasarkan pertimbangan ‘asal beda’ dengan pemerintah pusat.
“Kebijakan ini pertimbangannya asal beda. Ingin beda dengan pusat. Sekarang dibuat lagi transisi, tapi sudah terbuka (PSBB). Ini kan sekadar pemanis,” kata Jhonny saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (4/6).
Jauh-jauh hari, Presiden Joko Widodo telah meminta sejumlah daerah menyiapkan protokol kesehatan menjelang tatanan kehidupan normal baru atau new normal. DKI Jakarta yang dipimpin Anies menjadi salah satu daerah yang disiapkan pemerintah pusat untuk menjalani new normal tersebut.
Hal inilah yang menurut Jhonny seakan-akan Anies selalu ingin tampil beda dan kebijakannya bertentangan dengan pemerintah pusat. Apalagi, sebelumnya Anies sempat meminta pemerintah pusat menerapkan lockdown untuk menekan penyebaran virus corona, meski pada akhirnya permintaan Anies tak dikabulkan.
Jhonny berpendapat, Anies malah terkesan mempolitisasi wabah virus corona hanya untuk pencitraan. Hal ini tergambar dari kebijakan-kebijakan Pemprov DKI yang menurutnya justru membuat bingung.
“Jangan politisasi persoalan corona, karena membuat situasi tidak jelas. Covid ini harus ditanggulangi bersama-sama,” ujarnya.
Nuansa politisasi virus corona oleh Anies ini juga dirasakan oleh Ketua Forum Warga Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan. Menurut Tigor, Anies terkesan mempolitisasi virus corona sebagai panggungnya untuk maju di Pilpres 2024.
a pun tak heran jika kebijakan Anies selama masa pandemi ini hampir selalu berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat.
“Saya pernah katakan, dia politisasi pandemi virus corona dan dia harus tampil beda dengan kebijakan nasional. Kan, dia selalu mau menunjukkan bahwa dia lebih dulu dari pemerintah pusat. Itu pencitraan kan,” kata Tigor.
Manuver Anies dengan kebijakan-kebijakan yang berbeda ini malah semakin membuat masyarakat bingung. Apalagi, Anies terkesan hanya bermain kata-kata dan istilah.
Menurut Tigor, istilah PSBB transisi ala Anies ini sudah tidak diperlukan. Jika memang PSBB sudah tidak diperlukan, maka Anies dan jajarannya bisa menghentikannya.
“Siapkan new normal. Karena kan, PSBB juga masa persiapan. Itu kan sebenarnya masa transisi, bisa juga dipakai masa persiapan,” tuturnya.
Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin beranggapan lain. Apa yang dilakukan Anies, kata dia, semata hanya karena ingin bekerja dengan total terkait penanggulangan virus corona.
“Di Jakarta masih banyak RW yang berzona merah. Maka wajar jika Anies memperpanjang PSBB. Daripada nanti Anies disalahkan oleh rakyat. Lebih baik bekerja sesuai dengan kondisi yang ada,” ungkap Ujang saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Terlebih, ia berpandangan bahwa sejak awal antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI sudah menunjukkan perbedaan data mengenai penyebaran virus corona. Ia juga menilai pemerintah pusat membuat aturan yang bertabrakan terkait corona, sehingga menyulitkan Anies untuk bekerja.
Kendati begitu, Ujang tak memungkiri langkah berbeda yang diambil Anies ini demi mencuri panggung Pilpres 2024. Oleh karena itu, menurut dia, selama wabah virus corona melanda Indonesia, Anies memang harus terlihat bekerja dengan baik di mata masyarakat.
“Karena dari persoalan corona inilah karakter seorang pemimpin akan terlihat. Apakah bekerja dengan baik atau tidak,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno juga sependapat dengan Ujang. Menurut Adi, Anies ingin terlihat sebagai gubernur yang cepat bergerak mengantisipasi corona.
Menurut dia, kondisi ini berbeda dengan pemerintah pusat yang awalnya terlihat adem ayem merespons virus corona. Bahkan, pada awal penyebarannya, banyak elite politik yang terkesan menyepelekan Covid-19.
“Apalagi secara bersamaan Anies disimbolkan sebagai antitesa pemerintah saat ini,” jelas Adi.
Dampaknya, Anies mencoba ingin memosisikan dirinya sebagai pemimpin yg berbeda dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, wajar jika banyak orang yang beranggapan bahwa apa yang dilakukan Anies selama corona ini adalah manuver untuk menuju Pilpres 2024.
“Karena suka tak suka, Covid-19 adalah panggung menuju pilpres empat tahun mendatang. Siapa yang terlihat bekerja, ia akan menuai simpati,” paparnya.
Masyarakat Bingung
Manuver politik Anies membuat sejumlah kebijakan yang berbeda dengan pemerintah pusat ini justru dianggap malah membingungkan masyarakat Jakarta. Menurut Jhonny, Anies selama ini kerap membuat kebijakan yang mengambang.
“Buatlah kebijakan jangan yang mengambang, karena masyarakat butuh kepastian, jangan buat kebijakan yang banci. Ini kan kebijakan banci. (Dikatakan) ini masa transisi, PSBB belum (berakhir), tapi sudah dilonggarkan,” jelas Jhonny.
Senada, Azas Tigor juga memandang masyarakat saat ini kebingungan dengan segala istilah yang dibuat Anies dalam menghadapi virus corona.
Tigor juga menilai bahwa ada ketakutan bila Anies memutuskan untuk memperpanjang PSBB tanpa embel-embel transisi.
“Kalau dia bilang PSBB diperpanjang, takut dia. Berarti gagal dia. (Sementara) kalau dia mau masuk new normal, enggak siap, karena PSBB kemarin enggak berjalan baik,” kata Tigor menegaskan.
Di sisi lain, Adi Prayitno menilai kebijakan yang diambil kali ini merupakan bentuk dilema Anies. Di satu sisi, desakan untuk menerapkan new normal menguat, namun di sisi lain, kurva penyebaran virus corona tak kunjung melandai di Jakarta.
“Siapapun pemimpinnya pasti dilema menghadapi corona yang tak pasti ini. Pasti terjebak pada pilihan sulit, tak nyaman.” ujar Adi.
Menurutnya, hanya ada dua pilihan dalam situasi saat ini. Memilih segera new normal dengan segala risiko penularan penyakit, atau tetap melanjutkan PSBB dengan risiko ekonomi terancam lumpuh. Ini dilema Anies.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria saat dikonfirmasi belum melalui panggilan telepon dan pesan instan belum merespon terkait kebijakan PSBB Transisi DKI Jakarta ini. (dmi/pmg)
Sumber
CNNIndonesia