Jakarta, CNN Indonesia — Kematian George Floyd memicu reaksi keras dari banyak pihak, termasuk para atlet dunia yang dengan lantang menyuarakan anti-rasialisme.

George Floyd meninggal dunia di Minneapolis pada senin (25/5) setelah lehernya ditekan paksa dengan lutut polisi bernama Derek Chauvin. Sejak saat itu, aksi demonstrasi terus terjadi di Amerika Serikat dan negara bagian lainnya.

Di Amerika sendiri, para atlet sampai ikut turun ke jalan untuk memprotes insiden yang menewaskan Floyd yang merupakan warga kulit hitam. Sebut saja Enes Kanter, Lonzo Ball, hingga Malcolm Brogdon.

Tak hanya itu, penyerang Paris Saint Germain (PSG) Kylian Mbappe serta gelandang Olympique Lyon, Memphis Depay, juga ikut bersuara terkait kematian mengenaskan yang dialami Floyd.

Teranyar, mantan atlet american football dari Indiana Hoosiers, Chris Beaty dikabarkan tewas di tengah kerusuhan protes kematian Floyd pada akhir pekan lalu.

Dikutip dari CBS Sports, berdasarkan laporan Indianapolis Star, Beaty mengalami beberapa luka tembak dalam insiden yang terjadi sebelum tengah malam pada Sabtu (30/5) di jalan Talbot dan Vermont.

Beaty dinyatakan tewas di tempat kejadian di usia 38 tahun. Namun, belum dapat dipastikan jika tewasnya Beaty terkait langsung dengan aksi protes.

Legenda tinju asal Amerika Serikat, Floyd Mayweather Jr juga turut bereaksi atas insiden yang menewaskan Floyd. Bahkan, pemegang rekor tak terkalahkan sepanjang kariernya itu menyebut bakal membayar biaya upacara pemakaman Floyd.

Tak ketinggalan, sejumlah legenda NBA seperti Michael Jordan LeBron James juga ikut bersuara menentang aksi rasialisme terhadap Floyd.

Suara lantang dari sejumlah atlet ternama itu mendapat reaksi positif dari masing-masing penggemarnya. Gerakan mereka dianggap efektif dan lebih didengar masyarakat.

Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, menilai sebenarnya peran atlet dalam menyuarakan aspirasi sosial dan politik belum terlalu membawa pengaruh. Jika pun ada, itu di luar negeri dan hanya terbatas pada sosok atlet yang memiliki nama besar dan banyak penggemar.

“Untuk atlet-atlet tertentu bisa membawa pengaruh. Misalnya atlet besar yang punya prestasi dunia seperti Michael Jordan yang jadi ikon, bisa berpengaruh karena dia punya banyak penggemar.”

“Tapi kalau atlet biasa yang dari segi prestasi atau pengikut juga tidak terlalu menonjol tidak akan berpengaruh. Tergantung nilai kapasitas atlet itu sendiri,” ucap Ujang kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/6).

Dalam konteks kejadian George Floyd, pemicu utama menurut Ujang lebih kepada status Floyd yang merupakan warga kulit hitam dan meninggal karena Chauvin, penegak hukum berkulit putih. Diketahui, sejarah perjuangan warga Afrika-Amerika di AS penuh lika-liku.

“Di Amerika kebetulan ada pemicunya. Mohon maaf, ada sejarah panjang kulit putih dan kulit hitam. Untuk kasus Floyd, kebetulan karena dia kulit hitam yang tewas karena kulit putih.”

“Ditambah lagi persoalan ekomoni di Amerika yang sedang bangkrut yang membuat lebih dari tiga juta orang menganggur akibat virus corona,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan pengamat olahraga nasional Indonesia, Tommy Apriantono. Menurut Tommy, popularitas atlet hampir sama dengan selebritas, jadi wajar bila suara mereka didengar banyak orang.

Khusus di sepak bola, pesan atlet di dalam pertandingan baik lewat selebrasi atau tulisan khusus di kaus dianggap bisa berpotensi dipolitisasi. Maka, aksi yang dilakukan Jadon Sancho (Borussia Dortmund) dan Marcus Thuram (Borussia Monchengladbach) terancam sanksi.

“Memang atlet itu dampak sosial dan popularitasnya tinggi. Suara mereka bisa jadi gambaran buat masyarakat. Bundesliga kabarnya masih akan meneliti kesalahan Sancho atas simpatinya karena sepak bola tidak ingin dipolitisasi. Jadi, sangat besar pengaruhnya suara atlet terhadap dalam kehidupan sosial politik,” ungkap Tommy.

Sumber
CNN