Oleh : Suparji Achmad
Pandemi Covid-19 membuat masyarakat di Indonesia hidup serba keterbatasan. Mulai dari tidak bisa bekerja di luar rumah secara bebas, perekonomian yang lumpuh hingga tidak bisa beribadah di rumah ibadah agama masing-masing. Hal itu akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus yang hingga kini belum ditemukan vaksinnya ini.
Banyak dinamika selama penerapan PSBB. Salah satu yang menarik perhatian dan menjadi polemik adalah forum diskusi yang diselenggarakan Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menggelar forum diskusi bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang akan menghadirkan Ni’matul Huda, Guru Besar Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Sayangnya diskusi tersebut batal digelar, Jumat (29/5/2020), akibat panitia dan narasumber diteror sejak Kamis (29/5/2020). Tidak hanya itu, teror tersebut juga menyasar terhadap keluarga mereka melalui pesan yang dikirim ke ponsel menggunakan nomor tak dikenal.
Belum selesai kasus teror diskusi FH UGM, kini giliran akun Instagram Pemred Koran Tempo Budi Setyarso diretas saat memandu diskusi daring membahas kasus teror terhadap panitia dan narasumber diskusi yang digelar FH UGM. Budi menjadi pewawancara bincang-bincang virtual Ini Budi Spesial: Mengapa Diskusi dan Tulisan Diteror? pada Ahad (31/5/2020) pukul 10.00 WIB. Acara ini disiarkan langsung ke Youtube dan Facebook Tempo Media. Narasumber acara tersebut yakni Anugerah Perdana mahasiswa FH UGM yang menjadi panitia diskusi CLS, Sigit Riyanto Dekan FH UGM, dan Ravio Patra peneliti sekaligus aktivis demokrasi.
Teror terhadap forum ilmiah seperti diskusi tersebut merupakan tindakan tidak tepat dan bertentangan dengan kebebasan mimbar maupun kebebasan akademik. Apalagi dalam iklim kampus merdeka dan merdeka belajar. Padahal forum diskusi merupakan forum ilmiah dan menjadi wahana transaksi gagasan. Seharusnya bagi yang tidak setuju atas suatu topik yang dibahas, hendaknya hadir dan menjajakan idenya. Bukan justru melakukan teror atau intimidasi, meskipun sesensitivitas apapun topiknya. Apresiasinya seharusnya juga dalam bentuk artikulasi dan agregasi pemikiran serta melakukan kanalisasi jika terjadi distorsi.
Di Indonesia, penguatan sistem pemerintahan presidensial pasca reformasi perubahan amandemen UUD 1945 mengarah kepada penguatan jaminan masa tugas Presiden (fixed term) selama 5 tahun sebagai pilihan gagasan konstitusional atas dinamika sistem presidensial diberbagai negara di dunia.
Perubahan amandemen UUD 1945 mengadopsi alasan pemakzulan didalam Konstitusi Amerika Article 2 Section 4 sebagaimana UUD 1945 mempertegas alasan dan prosedur pemakzulan presiden dalam ketentuan pasal 7A dan 7B dengan syarat yang sangat ketat dan alasan yang limitatif serta prosedural kelembagaan melalui mekanisme jalur DPR, MK dan MPR. Artinya mekanisme pemakzulan Presiden tidak bisa diselenggarakan melalui dorongan gerakan rakyat (people power) atas dasar adanya tuduhan terhadap pelanggaran Sumpah Presiden untuk meminta pertanggungjawabannya.
Di Indonesia sejak amandemen UUD 1945, proses pemakzulan presiden menggabungkan intermixture structural process yang artinya tidak murni hanya lembaga politik yang dilibatkan sehinga menghadirkan checks & balances didalam kontrol kelembagaan.
MPR sebagai lembaga negara yang mewakili daulat rakyat in direct democracy memegang prinsip salus populi supreme lex (suara rakyat adalah hukum yang tertinggi). Sehingga pengawasan penyelenggaraan kekuasaan tertinggi pemerintahan oleh Presiden dengan maksud bertujuan untuk suatu pemakzulan hanya dikatakan sah (konstitusional) melalui DPR, MK dan MPR bukan suara demonstrasi atau kelompok – kelompok tertentu diluar DPR, MK dan MPR.
Dengan adanya keterbatasan ketat syarat rigid dan limitatif alasan dan prosedur pemakzulan menurut UUD 1945 maka sulit sekali membawa tujuan wacana pemakzulan presiden dengan keinginan alam demokrasi bottom up atas dasar kebebasan berpendapat. Selain itu, kebebasan berpendapat sebagaimana ketentuan pasal 28 UUD 1945 merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang pemenuhannya tidak bersifat absolut mutlak dalam pengertian sebebas – bebasnya.
Demikian prakteknya dalam kehidupan negara hukum yang demokratis ada garis pembatasan dengan pertimbangan agama, moral, keamanan dan ketertiban umum melalui ditetapkannya suatu Undang – Undang sebagai pembatasan hak dan kebebasan setiap warga negara dalam hal menyampaikan kebebasan berpendapat (pasal 28 J ayat 2 UUD), sehingga dihadapkan dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum maka suatu negara berdaulat tentunya berhak menentukan law in order (tertib hukum) dengan menghadirkan norma hukum ancaman terhadap kejahatan keamanan negara.
Jikalau saat ini wabah pandemi global Covid 19 telah memberikan dampak luas terhadap kehidupan negara dalam keadaan darurat, teringat dengan apa yang pernah disampaikan mantan Presiden Amerika Abraham Lincoln (safe guarding the nation and safe guarding the constitution), ketika negara dalam keadaan darurat yang pertama tujuannya lindungi dulu bangsamu dan yang kedua barulah lindungi konstitusi. Manakala terjadi kegentingan keadaan darurat yang demikian maka pada hakekatnya semua tindakan negara untuk menyelamatkan bangsa sekalipun inkonstitusional menjadi rechtmatigheid (sah secara yuridis).
Penting kita menyadari bahwa kebijakan menghadapi darurat wabah pandemi global Covid 19 adalah kebijakan negara dalam keadaan abnormal condition yang tidak dapat digolongkan dalam alasan konstitusional pemakzulan Presiden. Oleh karenanya, wacana yang mengemuka hendaknya kontruktif terhadap pemulihan kehidupan bangsa dan Negara. Topik diskusi tentunya tidak sekedar sesuatu yang seksi, akan tetapi lebih baik dan elegan jika membingkai dan memandu pemulihan keadaan tersebut.
Pada sisi lain, respon atas ide akademis, hendaknya dilakukan secara persuasif melalui mekanisme akademis juga, bukan dengan represif. Oleh karenanya, agar tidak menimbulkan opini negatif kepada pihak yang dicurigai melakukan perbuatan teror tersebut, maka harus segera diungkap siapa pelaku dan aktor intelektualnya. Selain itu, untuk meluruskan persepsi publik agar tidak diasosiasikan itu orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, aparat keamanan perlu segera mengungkap dan pihak yang diteror perlu segera membuat laporan. (*)
Sumber
Facesia