Lagi-lagi pikiran ini masih terbawa pada masalah tentang Covid-19, kali ini tentang regulasi yang terkait kebijakan keuangan Negara. Pandemi Covid-19 pertama kali terdeteksi di Wuhan, China, pada akhir 2019. Berbagai negara di dunia termasuk Indonesia, kelabakan menghadapi virus yang hingga kini belum ditemukan vaksinnya ini.

Salah satu langkah untuk mengatasi dampak Covid-19, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 pada 31 Maret 2020.

Dasar terbitnya Perppu tersebut memberi fondasi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan. Seperti, mengalokasikan anggaran belanja negara untuk kesehatan; jaring pengaman sosial; pemulihan perekonomian termasuk dunia usaha; dan masyarakat terdampak.

Melalui Perppu tersebut, Pemerintah memutuskan tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 yang totalnya sebesar Rp405,1 triliun. Rinciannya: Rp75 triliun belanja bidang kesehatan; Rp110 triliun perlindungan sosial; Rp70,1 triliun insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR); dan Rp150 triliun pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah (UMKM). Hal ini melalui realokasi dan refokusing APBN 2020 maupun APBD di setiap pemerintah daerah.

Beberapa pasal dalam Perppu ini pun dinilai bermasalah. Pertama, Perppu Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Padahal UUD NRI 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. Pasal 1 ayat 3 UUD bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D.

Ketiga, Perppu Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip dasar keuangan negara dan meniadakan adanya peran BPK untuk menilai dan mengawasi.

Perppu ini juga dianggap tidak memiliki pendekatan yang mencirikan kebutuhan spesifik terkait penanganan Covid-19 di Indonesia. Dalam Perppu ini, tidak tergambar secara jelas bagaimana public health policy yang diharapkan masyarakat dalam menanggulangi pandemi Covid-19.

Begitu juga Perppu ini tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang disebut dengan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Perppu ini bermasalah dibuktikan juga dengan adanya permohonan uji materi atau judicial review atas Perppu Covid-19 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/4/2020), yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Yayasan Mega Bintang 1997, LP3HI, KEMAKI dan LBH PEKA. Dalam permohonannya, mereka meminta pasal 27 pada Perppu tersebut, yang terkait imunitas aparat pemerintahan dari tuntutan perdata dan pidana saat melaksanakan aturan, agar dibatalkan.

Meski Perppu ini bermasalah, DPR bersama pemerintah mensahkan menjadi UU melalui rapat paripurna DPR pada 12 Mei 2020. Dari 9 fraksi yang ada di DPR, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak pengesahan Perppu ini menjadi UU karena ketentuan pasal-pasalnya seperti yang dijelaskan di atas bermasalah. MAKI pun segera mengajukan gugatan baru ke MK terhadap UU pengesahan Perppu dengan materi gugatan hampir sama dengan gugatan sebelumnya yaitu permohonan pembatalan pasal 27 UU pengesahan Perppu.

Terbaru atas disahkannya Perppu ini menjadi UU, ada usulan bahwa pemerintah perlu mengeluarkan Perppu baru tentang Stabilitas Keuangan Negara untuk memisahkan pengaturan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Sebab, UU yang baru ini tidak tergambar secara jelas bagaimana public health policy yang diharapkan masyarakat dalam menanggulangi pandemi yang disebabkan virus corona itu. UU ini juga tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang disebut dengan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Ketiadaan dua hal tersebut akan berdampak pada kelonggaran para pelaksana kebijakan untuk menyatakan dalil instabilitas keuangan tanpa adanya tolak ukur.

Pertanyaannya kini adalah apakah UU baru ini bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang di alami rakyat Indonesia selama maupun pasca pandemi Covid-19 berakhir? Situasi memang darurat, tindakan hukum darurat sudah diatur dalam konstitusi, tetapi subtansi regulasi darurat bukan dengan mendaruratkan hukum melalui mekanisme yang tidak lazim dengan asas hukum universal, equality before the law. Konstitusionalitas Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU, sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Menarik kita tunggu putusan lembaga MK, sebagai the Guardian of the Constitution.

*) Dr. Suparji Ahmad, Ahli Hukum Universitas Al Azhar Indonesia

Sumber
Facesia