Banyak manfaat yang bisa diperoleh setiap Muslim dari ibadah puasa. Salah satunya sebagai media untuk melatih kesadaran diri dan mewujudkan kesantunan dalam berinteraksi sehari-hari.

Seorang Muslim yang ingin menjaga kemurnian puasanya, wajib mengembangkan cara berinteraksi yang santun. Kesantunan, apabila merujuk pada KBBI, bermakna halus dan baik budi bahasa serta tingkah lakunya. Santun dalam berinteraksi artinya baik dan halus tidak hanya dalam tutur kata, tetapi juga ketika bercanda dan bertingkah laku. Bahkan, terhadap orang yang mengasarinya sekalipun.

Kesantunan seseorang tidak dapat dipisahkan dari sejauh mana seseorang mampu mengenali dirinya sendiri (self awareness). Kesadaran diri merupakan kemampuan mengidentifikasi perasaan diri, alasan mengapa merasakan perasaan tersebut, dan bagaimana dampaknya terhadap orang lain. Seseorang dengan kesadaran diri yang tinggi akan menyadari dan mengendalikan emosi yang dirasakannya, dan pada gilirannya mampu memiliki pengendalian diri yang baik sehingga santun ketika berucap dan berinteraksi sehari-hari.

Kesantunan, sebagai buah dari kesadaran diri yang baik, tidak serta merta tumbuh dengan sempurna.  Salah satu jalan untuk meningkatkan kesadaran diri dan menumbuhkan kesantunan adalah dengan berpuasa. Puasa merupakan waktu terbaik yang disediakan Allah untuk mempertajam kesadaran diri. Dengan hukum diwajibkannya puasa bagi yang mampu, sudut pandang behaviorsme melihat bahwa momentum puasa sebagai suatu kontrol yang menggembleng setiap muslim untuk mengelola hawa nafsu dan bertingkah laku sesuai dengan tuntutan agama. Pun dengan waktu berpuasa sebulan penuh, ada proses pembiasaan mengelola hawa nafsu yang terus menerus sehingga membentuk perilaku baru yang menetap.

Sebuah hadist menyatakan :

“Apabila seseorang di antara kalian sedang berpuasa,” sabda Rasulullah SAW, ”Lalu ada yang mencaci atau mengasarinya, hendaklah ia berkata, ‘(Maaf) saya sedang berpuasa'” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadist di atas dengan gamblang memberikan gambaran bahwa puasa merupakan media untuk melatih pengendalian diri untuk tetap berperilaku baik dan santun, bahkan di saat-saat tidak menyenangkan bagi dirinya.

Perilaku santun  akan berdampak besar bagi pribadi yang bersangkutan maupun orang di sekitarnya. Pertama, ia akan membuatnya menjadi pribadi yang indah. Secara garis besar, Allah SWT mengaruniakan dua keindahan kepada manusia: keindahan fisik dan kepribadian.

Umumnya, manusia mudah terpukau keindahan fisik. Namun, keindahan fisik akan segera kehilangan kesan bila tingkah laku dan kata-katanya kasar. Di sinilah, kesantunan menjadi faktor kunci mewujudkan pribadi yang indah.

“Sesungguhnya Allah SWT memberi (keutamaan) kepada kesantunan, yang tidak diberikan-Nya kepada kekasaran, dan tidak juga diberikan-Nya kepada sifat-sifat yang lain” (HR Muslim).

Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kesantunan tidak melekat pada sebuah pribadi kecuali sebagai perhiasan, dan tidak tercerabut darinya kecuali sebagai aib” (HR Muslim).

Kedua, kesantunan bisa membentuk sekitar kita. Banyak sahabat yang memperoleh hidayah setelah menyaksikan pribadi Rasulullah SAW yang santun. Di antaranya, Tsumamah bin Atsal RA dan Zaid bin Sa’anah RA.

Ketiga, kesantunan adalah pelindung hati dari noda dan penyakit kalbu. Yang perlu disadari, ketika berkata kasar dan mengumpat, sebenarnya kita tidak sedang merugikan orang lain, tapi menodai hati sendiri, mengotorinya dengan kekasaran, serta membuatnya menjadi keras.

Suatu kali, Rasulullah SAW tengah duduk bersama Aisyah RA. Lalu melintaslah sekelompok orang Yahudi di hadapan beliau. Tiba-tiba mereka menyapa Rasulullah SAW dengan memelesetkan ungkapan Assalamualaikum menjadi Assamu ‘alaika–“Kebinasaan atasmu, hai Muhammad.”

Mendengar serapah orang-orang Yahudi itu, Aisyah RA tidak terima. Namun, Rasulullah SAW segera menenangkan istrinya itu dan memintanya tak merespons mereka dengan kekasaran dan kebencian yang sama. Kemudian, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan alasan, “Sesungguhnya Allah SWT Mahasantun, dan menyukai kesantunan dalam segala hal” (HR Al-Bukhari).

Semoga puasa Ramadhan kali ini bisa meningkatkan kesadaran diri dan melekatkan etos kesantunan dalam keseharian kita, sehingga menjadi hamba-hamba yang disukai Allah SWT. Sebab, dalam sebuah hadis disebutkan, “Apabila Allah SWT menyukai seorang hamba, Dia akan mengaruniainya kesantunan” (HR Muslim dan Abu Dawud).

Oleh:
Abdullah Hakam Shah, L.c., M.A
Anisa Rahmadani, M.Si

Universitas Al Azhar Indonesia