JABARNEWS | JAKARTA – Pakar hukum menilai pembahasan RUU Cipta Kerja harus dikawal secara kritis berbagai kelompok masyarakat. Dalam proses ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta terbuka terhadap berbagai masukan agar pasal-pasal yang dianggap berpotensi merugikan pihak tertentu atau menimbulkan masalah, dapat diperbaiki.
Pakar hukum sekaligus Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Asep Saefuddin mengatakan DPR perlu membahas ini secara terbuka lewat daring (teleconference) meski di tengah wabah Covid-19.
“Tujuannya agar lebih banyak lagi orang paham dan juga masalah-masalah yang muncul dari RUU bisa diperbaiki dengan mengedepankan kepentingan rakyat,” kata Asep yang juga seorang profesor Statistik Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam keterangan yang diterima jabarnews.com, Jum’at (24/4/2020).
Dewan Etik Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia (Persepi) ini menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja digagas antara lain untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan menghidupkan dunia usaha. Karena itu dibutuhkan pemikian jernih, obyektif dan netral dalam membahasnya.
“Kita tidak bicara politiknya, sebagai akademisi melihatnya dari perspektif yang jernih. Bahwa ada yang tidak setuju, ada juga yang sebaliknya. Maka sebaiknya dibahas secara detil, komprehensif hingga celah persoalannya hilang atau minimal. Kalau diangap ada bagian yang keliru, diberi masukan lalu diperbaiki,” jelasnya.
“Publik harus mengerti soal RUU Omnibus Law ini secara jelas. Karena itu perlu ada keberimbangan informasi juga. Makanya, diskusi ini sangat baik supaya para mahasiswa, anak muda juga lebih paham peta masalahnya,” tambahnya.
Hal senada juga dikatakan, Wakil Rektor UAI, Agus Surono yang memaparkan bahwa Omnibus Law merupakan peraturan perundangan yang mengandung lebih dari satu muatan pengaturan.
Karena itu sifatnya multi sektor, lanjut dia, terdiri dari banyak pasal, mandiri terikat atau minimum terikat dengan peraturan lain serta menegasikan, atau mencabut sebagian dan atau keseluruhan peraturan lain. Disinilah pentingnya perhatian semua pihak
“Karena ini kompleks, maka sudah pasti ada sejumlah pasal di sejumlah aspek itu mengandung kelemahan, bisa dikatakan bermasalah. Jadi memang harus dikritisi agar diperbaiki. Ayo kita kasih masukan, DPR harus bahas dengan serius dan mendalam. Tidak bijak juga kalau serta merta ditolak semua,” ucap Agus.
Tujuan Omnibus Law RUU Ciptaker, ungkap Guru Besar Ilmu Hukum UAI itu, antara lain mengatasi konflik peraturan perundangundangan secara cepat, efektif dan efisien. Tujuan lainnya adalah menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; juga diharapkan mampu memutus rantai birokrasi yang menyulitkan pertumbuhan usaha, termasuk usaha kecil dan menengah.
“Apakah kesan RUU ini tidak memihak kepada pekerja? Tidak juga menurut saya. Karena justru membuka peluang kerja lebih besar dengan dipermudahnya birokrasi investasi. Kalau dunia usaha berkembang, pengangguran kan terserap,” tuturnya.
Meski demikian, Agus mengakui ada pasal-pasal dalam RUU Ciptaker yang harus dikawal pembahasannya secara kritis.
“Misalnya pasal-pasal yang terkait kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara di pasal 169A dan turunannya. Ini harus diperbaiki saya kira. Karena kalau disebutkan perpanjangan dengan perizinan berusaha, sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang dengan mempertimbangkan penambahan nilai tambah (PNT), itu bahaya juga,” ujarnya.
Pendeknya, kata Agus, RUU ini perlu kajian mendalam dengan mendengarkan suara dan masukan berbagai kalangan dan pemangku kepentingan.
“Karena itulah, kami dari UAI juga insha Allah akan menguatkan kajian dan memberikan masukan kepada DPR. Diskusi ini juga masukan, tapi detilnya nanti kita susun lagi dan akan disampaikan ke DPR,” tutupnya.
Sumber
JABAR News