KIBLAT.NET, Jakarta – Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad mengkritisi kebijakan pelepasan Napi. Menurutnya, memang kebijakan tersebut bisa mengurangi kerumunan sehingga dapat mencegah corona.
Namun, saat ini justru banyak napi yang melakukan kejahatan setelah mendapat asimilasi.
“Untuk mengukur efektivitas kebijakan ini perlu dilakukan pendataan secara akurat. Mungkin untuk di lapas boleh dikatakan efektif karena mengurangi kerumunan napi. Tetapi muncul masalah baru yakni adanya keresahan masyarakat akibat ulah napi yang dibebaskan,” katanya saat dihubungi Kiblat.net pada Sabtu (18/04/2020).
“Seharusnya sudah diantisipasi terhadap kemungkinan yang terjadi. Sebuah kebijakan tidak boleh sporadis tapi komprehensif,” sambungya.
Maka, ia menekankan bahwa pemerintah harus bertanggungjawab terhadap tindakan para napi yang dilepas saat Corona. Bentuk pertanggungjawaban ini misalnya dengan memproses hukum dan memberi sanksi yang berat.
“Pemerintah melalui aparat penegak hukum harus bertindak cepat untuk mengatasi aksi mantan napi tersebut. Dan memproses hukum sebagaimana mestinya, dengan tuntutan yang lebih berat supaya menjerakan,” paparnya.
Selain itu, Suparji juga menanggapi dugaan pungli terkait asimiliasi. Sebagaimana diketahui, beredar kabar bahwa napi yang ingin dapat asimiliasi harus membayar 5 juta rupiah.
“Dugaan pungli tersebut harus diusut supaya tidak menimbulkan polemik dan stigma negatif bagi para petugas serta membuat terang benderang masalah. Yang jelas pungutan tersebut tidak dibenarkan jika tidak ada dasar hukumnya,” tuturnya.
Sumber
Kiblat