Sejak dilantik tanggal 20 Oktober 2019 yang lalu, usia pemerintahan Jokowi-Ma’ruf sudah 100 hari lebih. Performa kinerja 100 hari pertama Jokowi-Ma’ruf sangatlah penting. Karena akan menjadi ukuran dan fondasi dalam menapaki pemerintahan lima tahun ke depan.

100 hari pertama Jokowi-Ma’ruf sangatlah menentukan. Publik ingin tahu, apa saja yang sudah dilakukan oleh kedua pemimpin bangsa tersebut. 100 hari pertama Jokowi-Ma’ruf merupakan kesan pertama bagi publik, untuk menilai kinerja Jokowi-Ma’ruf. Seperti dalam sebuah iklan di televisi, kesan pertama yang menggoda. Selanjutnya terserah anda.

Sayangnya, tak ada hal besar yang ditampilkan oleh Jokowi-Ma’ruf dalam 100 hari pertamanya. Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Tak ada kinerja besar, fenomenal, dan fundamental dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa.

Mungkin Jokowi-Ma’ruf sedang memantapkan rekonsiliasi dan konsolidasi politik. Juga sedang menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Tapi itu saja tidak cukup. Rakyat sedang menunggu realisasi janji-janji kampanye Jokowi-Ma’ruf.

Bukankah ketika kampanye Pilpres yang lalu, mereka berdua telah berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia. Jokowi-Ma’ruf ingin rakyat enak dan sejahtera. Lalu sejauh mana rakyat telah menikmati kesejahteraan itu.

Performa kinerja 100 hari Jokowi-Ma’ruf masih jauh dari harapan rakyat. 100 hari keduanya banyak diwarnai kegaduhan. Revisi UU KPK menjadi catatan buruk dan kelam bagi pemerintah Jokowi-Ma’ruf.

Publik ingin KPK diperkuat. Dan itu juga menjadi janji dalam kampanye Jokowi-Ma’ruf. Tapi faktanya KPK dikebiri dan dibunuh. Menggeladah kantor PDIP pun KPK tak mampu. Menjemput sekjen partai moncong putih tersebut pun KPK tak bisa. Dan mencari Harun Masiku pun tak ketemu.

Dunia pun tahu, bahkan semut pun tahu bahwa KPK sudah mandul dan tumpul. Bahkan minggu lalu, pimpinan KPK mengendap-ngendap menemui pimpinan Komisi III DPR RI. Padahal tak ada jadwal resmi pertemuan antara keduanya.

Nasib pemberantasan korupsi akan semakin suram, gelap, dan tak bertepi. Karena KPK nya sudah dibonsai dan dibunuh hanya untuk mengamankan mereka-mereka yang korupsi, baik di eksekutif maupun legislatif.

Karena jika KPKnya masih kuat seperti dulu, maka mereka – merekalah yang akan disantap dan dimakan KPK, karena telah memakan banyak uang haram. Dan ketika KPK nya seperti saat ini yang letoy, maka mereka yang korupsi dari kalangan pejabat tinggi akan aman dan diamankan.

100 hari Jokowi-Ma’ruf juga diawali dengan rekonsiliasi, dengan cara menarik gerbong oposisi. Dijalankan dengan bagi-bagi jabatan menteri. Ditutup dengan kekecewaan rakyat.

Rakyat sangat kecewa, karena pemerintah telah menaikkan iuran BPJS hingga 100 %. 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, 100 % kenaikan iuran BPJS. Rakyat meradang. Tapi rakyat tak bisa berbuat apa-apa. Karena negara tak punya uang.

Uangnya ada di pribadi dan kelompok pengusaha, pejabat, politisi, dan mereka yang telah berkongkalingkong dengan negara untuk menguras uang negara. Negara jadi miskin. Namun orang-orang tertentu menguasai aset dan uang di negara ini.

Utang negara sudah mencapai Rp 5.619,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS). Tahun 2020 ini saja, negara harus membayar bunga utang Rp 295 triliun. Dan pembayaran pokok utang Rp 351 triliun. Total bunga dan pokok yang harus dibayar tahun ini Rp 646 triliun.

Di saat utang republik ini menggunung. Di saat yang sama korupsi terjadi dimana-mana. Anggaran APBN dan APBD menjadi bancakan politisi dan pejabat. Uang BUMN pun sama digasak dan dirampok secara terang-terangan di atas sinar matahari yang cerah.

Dalam 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, persoalan korupsi Garuda muncul. Garuda masih batuk-batuk mucul korupsi Jiwasraya Rp13,7 triliun. Jiwasraya masih belum siuman, muncul juga dugaan korupsi di Asabri, Taspen, Pelindo, dan lain-lain.

Belum lagi kenaikan beberapa ruas tol. Jangan sampai rakyat sudah menderita. Dalam 100 hari kinerja Jokowi-Ma’ruf makin menderita lagi. Ibarat pepatah, rakyat sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah terhimpit dengan ekonomi yang sulit. Ditambah kebijakan yang tak memihak rakyat.

Ditambah lagi pemerintah akan menaikan harga gas 3 kg. Subsidi gas 3 kg akan dicabut. Sehingga rakyat yang harus menanggung kenaikan harga gasnya. Ini bagian dari kebijakan yang mencekik leher rakyat. Rakyat yang harusnya bahagia. Dibuat menderita.

Rakyat yang harusnya menikmati kebahagiaan dan kesejahteraan dalam 100 hari kinerja Jokowi-Ma’ruf. Namun rakyat yang terkena nestapa.

Rakyat mendapatkan kado 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang tak menyenangkan. Banyak kebijakan yang tak pro rakyat dan menyakitkan.

Dalam 100 hari kinerja Jokowi-Ma’ruf, stabilitas politik memang aman dan terjaga. Namun masyarakat tak merasakan kehadiran negara. Negara sibuk mengurus mengamankan mereka yang punya kasus. Sedangkan rakyat tetap sekarat dan melarat.

Logika rakyat sangat sederhana. Rakyat ingin negara hadir di tengah-tengah penderitaan rakyat. Rakyat tak pernah meminta lebih. Rakyat Indonesia sudah biasa bersabar, menderita, menerima keadaan sesulit apapun.

Namun jika negaranya abai dan menindas mereka. Maka bisa saja rakyat akan menggugat. Ya, rakyat akan menggugat. Negara ini milik rakyat. Buka milik para pejabat. Jadi harusnya rakyat yang makmur. Bukan pejabatnya yang subur. Karena pada dasarnya, pejabat adalah pelayan masyarakat.

Performa kinerja 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf memang belum meyakinkan. Masih jauh dari harapan. Tapi bagaimanapun, kita sebagai rakyat Indonesia, harus memberi kesempatan kepada keduanya untuk memperbaiki kondisi bangsa ini, sesuai dengan janji-janji kampanye yang telah disampaikannya ketika Pilpres yang lalu. (Ujang Komarudin)